PENDAHULUAN
Upaya-upaya
yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda
perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia
telah tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama
disebabkan menguatnya peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi
lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan
mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada
tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada
tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari
nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada
periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007
(Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun).
Namun
demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator
makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan
terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan
meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun
2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada
tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut, pengangguran
terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi
9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia
berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).
Pasar
kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang
– bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah
tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan
jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian.
Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik
dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki
kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga
memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan
kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan
produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga
mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan
lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh
karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan
upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi
perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern
yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus
tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak
tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut
secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu
dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja.
Tulisan
ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan
perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan
pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan
di Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir
adalah rekomendasi dalam penerapan kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi
pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada
kenyataan bahwa setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun
di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat
kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor
market risks) yang utama adalah:
- Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
- Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.
- Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal.
- Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.
Risiko-risiko
tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja.
Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu,
kondisi mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan.
Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk
meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Secara
garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam
pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan
sosial (social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial
umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja
dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai
dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya
terdiri dari tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan
(health insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau
asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan
hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan
lain-lain.
Biaya-biaya
yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi
pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung
sepenuhnya atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari
sudut pandang pemberi kerja penerapan kebijakan ini menambah terhadap total
biaya tenaga kerja (labor costs).
Sebagai
akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan
maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang
pemberi kerja, meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat
menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja.
Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan
dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat
menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.
Berbagai
fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja
yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja
(Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian
tunjangan pengangguran yang relatif tinggi (generous) telah berdampak pada
tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja
anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan pekerja anak secara
besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak
jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial.
Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan
anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar
kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor
secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga
menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya kebijakan
perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja dan kenaikan upah
riil.
Oleh
karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada
kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa
besar dan siapa yang akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan
memperhatikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu, perlu
pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang dibuat tidak
memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor
formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh
kebijakan tersebut.
III.
ANALISIS
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun 2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja
yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon,
ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam
kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90.
Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan
pengupahan adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan
hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
(pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota
(pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan
bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan
penangguhan (pasal 90).
Jika
diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam
melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern.
Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan
ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya
keunggulan komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya
menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas
produksi.
Kenaikan
upah minimum yang terlalu cepat ini selain berdampak negatif terhadap prospek
pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, juga menyebabkan tingkat
pengangguran terbuka menjadi lebih tinggi, terutama di kalangan angkatan kerja
usia muda. Studi SMERU (2002) tentang upah minimum menunjukkan bahwa kenaikan
upah minimum selama periode 1990 hingga 1999 tidak mengurangi kesempatan kerja
bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja berpendidikan tinggi atau para
profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum tersebut telah mengurangi
kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang
terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau lebih rendah). Studi SMERU
menunjukkan bahwa secara rata–rata, kenaikan upah minimum riil sebesar 20%,
sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada tahun 2002, menyebabkan
berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2%,
lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja usia muda berkurang
masing-masing sebesar 6%, dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4%. Kenaikan
upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan
bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah
rata-rata kelompok tersebut di pasar kerja.
Kenaikan
upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di seluruh Indonesia disebabkan oleh
sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum diantaranya,
ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum atau KHM,
penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak diberlakukannya otonomi
daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam
penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi para stakeholder utamanya
dalam proses penetapan upah. Proses penetapan upah minimum menjadi semakin
rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah
daerah di era otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan
pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas
perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan
tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara
tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai
alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155
dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak
diperbolehkannya PHK.
Aturan
PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya
tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus
pengurangan pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya.
Tidak terdapat kewenangan manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan
karyawan.
Undang-Undang
Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada manajemen dalam
memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada pelaksanaan
kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK
yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat
pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun
dalam UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada
alasan yang jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak
diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh
sebagian besar undang- undang ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih
dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja
tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja.
Jika
terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal
156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan
tersebut.
Pada
pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja membayar uang
pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri
secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya, pencurian atau
melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan membayar
“uang pisah” kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat
karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan
bersama.
Terkait
dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, Widianto
(2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara
19% sampai 63% bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih.
Tingkat uang pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia,
khususnya untuk pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena
pengurangan karyawan .
Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini:
- Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu.
- Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
- Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
- Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi pekerjanya.
- Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak produktif lagi.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat
musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
Undang-undang
ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan
produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan
produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga
kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis
pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi
dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan
pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja
yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; (pasal 64 – 66)
Tujuan
dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kerja di
tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor modern. Meskipun demikian, bila
ketentuan-ketentuan UU tersebut diimplementasikan secara kaku,
ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat sebagian angkatan kerja untuk
memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu, pekerja kontrak
memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit,
tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk
pelatihan. Meskipun, pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan
pada akhirnya menjadi pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja
berpendidikan rendah.
Dalam
kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh Nugroho (2004), mengemukakan
bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan hubungan industrial. Terutama adanya
ketidakjelasan status antara lembaga penyalur dengan perusahaan ketika terjadi
perselisihan hubungan industrial. Posisi tawar buruh akan menjadi semakin lemah,
sedangkan di pihak lain posisi perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing akan
semakin kuat. Ini akan menciptakan hubungan yang subordinatif terhadap pekerja
Waktu Kerja
Terkait
dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan
pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari
(Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan
untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam
1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja berkewajiban membayar
upah lembur, tetapi harus memenuhi syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh
yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu)
minggu (pasal 78).
Aturan
mengenai waktu kerja ini, secara eksplisit memberikan keterbatasan perusahaan
untuk mempekerjakan pekerja sesuai dengan kebutuhan produksi. Meskipun,
misalnya karena kekurangan bahan baku, perusahaan hanya membutuhkan
masing-masing pekerja untuk bekerja kurang dari 40 jam seminggu, tetapi
perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas jam kerja tersebut.
Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang mengharuskan
perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan aturan tidak boleh
mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya.
IV.
REKOMENDASI
Dari
kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan
antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai
berikut:
- Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK, upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan jaminan keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia, perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
- UU NO. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.
- PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.
- Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.
- Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari kerja.
- Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial dan dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar