A.
Pengertian
Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan
proses kependidikan Islam berlansung secara konsisten dan berkesinambungan
dalam rangk mencapai tujuannya adalah insititusi atau kelembagaan Islam. Namun
demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan tarbiyah islamiyah adalah suatu
lingkungan yang didalamnya terdapat cirri-ciri keislaman yang memungkinkan
terselenggaranya pendidikan Islam yang baik.
Sebagai tempat tinggal manusia pada
umumnya, lingkungan dikenal dengan istilah al-qoryah diulang dalam al-Qur’an
sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan
penduduknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4:72;
7:4; 17:16; 27:34) sebagaian dihubungkan dengan
penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai
(16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tmpat tinggal para Nabi (Q.S.
27:56; 7:8; 6:92) semua ini menunjukkan tentang
pentingnya lingkungan atau tempat suatu kegiatan, termasuk kegiatan
Pendidikan Islam.
B.
Fungsi
Lingkungan Tarbiyah Islamiyah.
Lingkungan atau tempat berlansungnya
kegiatan Pendidikan Islam itu dapat di identifikasi yaitu terdiri dari rumah,
masjid, kutab dan madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya institusi
lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi lingkungan sekolah dan lingkungan
luar sekolah. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SisDikNas, misalnya
mengatakan sebagai berikut:
1. Semua
kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah
2. Satuan
Pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang
berjenjang dan berkesinambungan
3. Saluran
pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan
pendidikan yang sejenis.
Selanjutnya,
bagaimana pandangan al-Qu’an terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut
serta fungsinya.
1.
Satuan
Pendidikan Luar Sekolah
Diantara
satuan pendidikan luar sekolah adalah keluarga yang berlansung dirumah. Untuk
itu perlu dibahas mengenai apa yang dengan keluarga dan rumah itu. Keluarga
adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari sekurang-kurangnya suami istri.
Didalam
al-Qur’an kata keluarga dipresentasikan melaluikata ahl. Didalam al-Qur’an kata
keluarga diulang sebanyak 128 kali. Kata-kata tersebut tidak selamanya
menunjukkan pada arti keluarga sebagaimana disebut diatas, melainkan punya arti
yang bermacam-macam.
Misal
:
·
Pada surat al-Baqarah ayat 126 keluarga
diartikan sebagai penduduk suatu negeri.
·
Al-Baqarah 109 kata ini berarti penganut
suatu ajaran seperti ahl al-kitab.
·
An-Nisa ayat 58 mengartikan keluarga
sebagai orang yang berhak menerima sesuatu.
·
Dll
Karena
keluarga sekurang-kurangnya terdiri dari suami dan istri, maka kajian tentang
keluarga ini dapat dikoordinasikan dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan
tujuan terciptanya keluarga, keluarga yang berkualitas dapat menopang tugas
dalam pembinaan atau pendidikan putra-putri dalam keluarga tersebut.
Untuk
dapat menjalankan fungsi keluarga tersebut maka sebelum dibangun keluarga perlu
dipersiapkan syarat-syarat pendukung.
Yaitu :
o
Psikologis , saling mencintai (Q.S.
an-Nisa : 3)
o
Batas kedewasaan / baligh (Q.S. an-Nisa
: 6)
o
Keluarga dan agama
Dengan
syarat tersebut maka diharapkan keluarga dapat memainkan perannya dalam membina
masa depan putra putrinya secara berkualitas dan berdaya guna. Pada suatu hadis
dinyatakan : Didiklah anakmu sekalian dengan tiga perkara : “mencintai Nabi,
mencintai keluarga dan membaca al-Qur’an.” (HR. Abu Daud).
Berkaitan
dengan peran keluarga dalam pendidikan tersebut, al-Qur’an juga berbicara
mengenai peranan yang dimainkan oleh tempat tinggal atau rumah dimana keluarga
berada. Kata-kata bait atau rumah di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 59 kali.
Yaitu dengan kata-kata bait (tunggal) 25 kali, buyut (jamak) 20 kali, dengan
buyut yang dihubungkan dengan kata ganti orang yang hadir banyak (kaum),
menjadi buyutikum sebanya delapan kali. Pada kata-kata bait dalam al-Qur’an selalu
diartikan baitullah / ka’bah.
Dari
uraian diatas dapat dilihat bahwa perhatian Tuhan terhadap rumah dengan
berbagai aspekya begitu besar. Secara keseluruhan rumah tersebut memperlihatkan
fungsinya yang bermacam-macam, seperti
tempat ibadah yang dimuliakan Tuhan, tempat tinggal anggota keluarga, tempat
tinggal para Nabi, tempat mengurung orang yang dikhawatirkan berbuat buruk,
tempat tinggal sementara dan tempat menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Dengan demikian secara normatif keluarga
merupakan sebagai tempat tinggal dan sebagai lingkungan pendidikan yang
pertama.
Al-abdari
menjelaskan bahwa rumah menjadi tempat belajar hanyalah diwaktu keadaan memaksa
saja. Yakni tempat pengajaram umum, sedangkan tempat pengajaran khusus untuk
anggota keluarga, rumah sangat diperlukan. Lingkungan pendidikan selanjut nya
adalah masjid-masjid, mushalla, pesantren, madrasah dan universitas-universitas
yang secara keseluruhan menjadi fungsi sosial kependidikan dan bersifat umum.
2.
Lingkungan
Pendidikan Luar Sekolah
Sekolah
sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya. Secara
historis keberadaan sekolah ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari
keberadaan masjid, yaitu karena adanya diantara mata pelajaran yang untuk
mempelajarinya diperlukan soal-jawab, perdebatan dan pertukaran fikiran. Cara
mengajarkan suatu pelajaran yang semacam ini tidak serasi dengan ketenangan dan
rasa keagungan yang harus ada pada pengunjung-pengunjung masjid. Selain itu
menurut Von Kremer sebgaimana dikutip oleh Syalabi bahwa ada sekumpulan manusia
yang mempergunakan bagian terbesar dari waktunya untuk mengajar. Untuk nafkah
hidupnya sehari-hari mereka mengerjakan perusahaan-perusahaan yang ringan
disamping mengajar itu. Akan tetapi, mereka tidak berhasil untuk mencapai taraf
penghidupan yang selaras, karena itu perlu didirikan sekolah-sekolah, karena
sekolah-sekolah itulah yang akan menjamin bagi mereka penghasilan yang
mencukupi keperluan hidup mereka sehari-hari.
Di
dalam al-Qur’an tidak ada satupun kata yang secara lansung menunjukkan pada
arti sekolah, yaitu madrasah. Tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu
darasa didalam al-Qur’an dijumpai sebanyak enam kali kata-kata darasa dalam
al-Qur’an diartikan bermacam-macam, diantaranya mempelajari sesuatu (Q.S.
6:105), mempelajari taurat(Q.S. 7:169), perintah agar mereka (ahli kitab)
menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-kitab (Q.S 3:79) pertanyaan
kepada kaum Yahudi, apakah memreka memiliki kitab yang dipelajari(Q.S. 68:37),
informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka
pelajari (baca) (Q.S.34:44) dan berisi informasi bahwa al-Qur’an ditujukan
sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6:156).
3.
Lingkungan
Masyarakat
Kebutuhan
manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya yang menyangkut bidang
material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan,
pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik
suatu pemahaman bahwa dalam rangka
memenuhi kebutuhan pendidikan manusia membutuhkan adanya lingkungan sosial
masyarakat. Dari sebab inilah para ahli pendidikan umumnya memasukkan
lingkungan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan.
Selanjutnya
didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan bahwa masyarakat adalah pergaulan
hidup manusia atau sekumpulan orang yang
hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu
misalnya memperbaiki keadaan masyarakat.
Masyarakat
dalam arti seperti disebutkan diatas adalah merupakan suatu keharusan.
Ahli-ahli filsafat menyatakan kebenaran ini karena menurut waktunya, manusia adalah makhluk sosial,
artinya bahwa ia membutuhkan suatu masyarakat, atau suatu kota sebagaimana
mereka namakan.
Didalam
al-Qur’an suatu perkumpulan atau masyarakat dapat digunakan kata jamaah yang
berakar pada kata jama’a. kata-kata jama’a di dalam al-Qur’an diulang sebanyak
130 kali yang diungkap dalam bentuk kata kerja seperti jama’ah atau yajma’u
dalam bentuk kata benda atau isim seperti al-jam’u, jami’u dan sebagainya.
Banyaknya
ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata-kata perkumpulan atau jama’ah tersebut
menunjukkan pentingnya perkumpulan bagi masyarakat, sehingga dapat menarik
perhatian masyarakat untuk bermasyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1) Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. Pertama,
2005
2) -Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy.
Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
3) An Nahlawi, Abdurrahman.
Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar