Sabtu, 18 Februari 2012

SEJARAH MELAYU RIAU


CATATAN AWAL MENUJU UNIVERSALITAS SEJARAH MELAYU
Oleh : Samsul Nizar[1]
PENDAHULUAN
Perubahan Negara ke arah yang lebih maju, hendaknya diiringi dengan keinginan generasi penerus untuk tidak melupakan sejarah bangsanya. Soekarno pernah mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Semboyan ini perlu diabadikan karena banyaknya generasi muda yang tidak mengetahui sejarah bangsanya. Bahkan para pelaku sejarah banyak yang telah tiada dan bukti-bukti sejarah telah banyak  yang rusak atau hilang, sehingga perlu kiranya kita menggeneralisasikan sejarah kepada yang lebih muda.
Salah satu cara menggeneralisasikan sejarah ini, yaitu dengan cara menggali, menyusun dan menulis kembali sumber-sumber sejarah yang ada seobjektif mungkin menjadi sebuah buku sejarah yang lebih refresentatif sehingga dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi penerus bangsa. Di antara sekian banyak sejarah bangsa yang masih belum terkuak secara luas adalah Sejarah Melayu Riau.
ASAL  KATA RIAU
Hasil kajian Hasan Junus, seorang peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada 3 kemungkinan asal nama Riau, yaitu : Pertama, toponomi Riau berasal dari penamaan orang Portugis dengan kata rio yang berarti sungai. Kedua, mungkin berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila wa Laila (Seribu Satu Malam) yang menyebut riahi, yang berarti air atau laut. Ketiga, berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan Melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah satu negeri dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang.
Kemudian dengan Perjanjian London (1824) antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua. Belahan Johor - Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan Riau - Lingga berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam zaman penjajahan Belanda (1905 - 1942), nama Riau dipakai untuk nama sebuah keresidenan, yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau serta pesisir Timur Sumatera bagian tengah.
Setelah Propinsi Riau terbentuk tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah propinsi yang penduduknya dewasa itu sebagian besar terdiri dari orang Melayu.
Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di rantau ini, antara lain adalah:
  • Kerajaan Inderagiri (1658-1838)
  • Kerajaan Siak (1723-1858)
  • Kerajaan Pelalawan (1530-1879)
  • Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913)
  • Kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).
Kata Melayu berasal dari kata Mala dan Yu. Mala artinya mula atau permulaan, sedangkan Yu artinya negeri. Melayu artinya negeri yang mula-mula ada. Pendapat ini sesuai dengan perkembangan bangsa Melayu dari daratan Asia Tenggara, pada kira-kira tahun 2000 sebelum Masehi dan 1500 sebelum Masehi yang menyebar ke seluruh Indonesia. Pendapat lain mengatakan, bangsa Melayu berasal dari kata layu yang artinya rendah. Maksudnya bangsa Melayu itu rendah hati sangat hormat kepada pemimpinnya. Istilah Melayu ini dipergunakan untuk menamakan sebuah Kemaharajaan Melayu dan Kerajaan Melayu Riau. Perkataan Melayu juga dipakai menamakan rakyat pendukung kerajaan-kerajaan tersebut sehingga terkenal sebagai suku Melayu dengan bahasa yang dipergunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini pada masa dahulu menjadi Lingua Franca di kawasan Asia Tenggara ini.

 

RIWAYAT PROPINSI RIAU

Riau dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1948, tentang pembagian Sumatera dalam tiga propinsi. Antara lain Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Keinginan rakyat Riau yang menghendaki daerah otonomi dibahas dalam berbagai kesempatan, antara lain:
·         17 Oktober 1954 diadakan Kongres Pemuda Riau di Pekanbaru.
·         7 Agustus 1955 diadakan Konperensi DPRDS I antar empat kabupaten dalam Keresidenan Riau di Bengkalis.
·         7 September 1955 delegasi DPRDS empat Kabupaten Riau menghadap Mendagri Mr. R. Soenarjo yang menghasilkan Keterangan Nomor De/44/12/13/7 yang isinya, "Persoalan itu akan diberi perhatian seperlunja, dan pembagian wilajah R.I. dalam daerah-daerah propinsi jang baru sedang direntjanakan."
·         9 September 1955 dibentuk Badan Penghubung Persiapan Propinsi Riau di Jakarta.
·         31 Januari s/d 2 Februari 1956 diselenggarakan Kongres Rakyat Riau. 22 Oktober 1956, pertemuan para tokoh dengan Mendagri Soenaryo. Menurut menteri, Undang-undang Pembentukan Propinsi Riau belum disiapkan, namun akan diajukan dalam Sidang Parlemen permulaan 1957.
·         Sidang Kabinet 1 Juli 1957 menyetujui Riau dan Jambi menjadi propinsi.
·         7 Agustus 1957, Undang-undang Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi disetujui.
·         9 Agustus 1957 diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 75 dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1957 yang menetapkan pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
·         Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 256/M/1958, pada 5 Maret 1958 dilakukan pelantikan Gubernur KDH Propinsi Riau, SM Amin di Tanjungpinang. Maka resmilah daerah Swatantra Tingkat I Propinsi Riau.
·         20 Januari 1959 ibukota propinsi kemudian dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des 52/1/44-25. Gubernur SM Amin digantikan oleh Kaharuddin Nasution yang dilantik pada 6 Januari 1960 di Pekanbaru.

Provinsi Riau terbentuk tahun 1957 dengan Tanjung pinang sebagai ibukota sementara. Dikemudian hari ibukota Riau dipindah ke Pekanbaru. Tokoh yang menduduki jabatan gubernur Riau pertama adalah S.M. Amin. Sejarah di Riau  terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kerajaan ini berpusat di Palembang karena disana ditemukan prasasti peninggalan Sriwijaya. Beberapa ahli sejarah lain mengatakan bahwa puat Kerajaan Sriwijaya adalah di Muaratakus (Riau). Masa kajayaan Kerajaan Sriwijaya adalah antara abad ke 11 sampai abad ke 12. ketika itu kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi eluruh wilayah Indonesia bagian barat dan seluruh Semenanjung Melayu.  
Pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, di Riau muncul beberapa kerajaan. Salah satu kerajaan besar adalah Kerajaan Malaka yang didirikan oleh Prameswara pada awal abad ke 14. Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah pada awal abad ke 15. Kejayaan Malaka ini tidak lepas dari peran panglima angkatan lautnya, yaitu, Laksamana Hang Tuah.
Kekuasaan Kerajaan Malaka berakhir tanggal 10 Agustus 1511. ketika itu, Ketika itu, Malaka ditaklukan oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso d'Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang berhasil menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun kerajaan baru di Bintan. Kerajaan Melayu ini mewarisi kekuasaan Kerajaan Malaka yang meliputi Kelantan, Perak, Trenggano, Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga, Inderagiri, Kampar, Siak, dan Rokan.
Setelah merasa kuat, Sultan Mahmud Syah I merencanakan untuk melancarkan serangan  balasan terhadap Portugis di Malaka. Dia kemudian melancarkan serangan berturut-turut tahun 1515, 1516, 1519, 1523, dan 1524. namun semua serangan tersebut tidak berhail menggoyahkan pertahanan Portugis. Bahkan kemudian Portugis melancarkan serangan balasan tahun 1526 dan berhasil menguasai Bintan.
Sultan Mahmud Syah I meninggal dunia tahun 1528 di Pekantua. Posisinya digantikan oleh putranya, yaitu, Sultan Alauddin Riayat Syah II. Dia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menyikapi penjajah. Pada masa kekuasaannya terjadi banyak peperangan melawan Portugis. Berbagai peperangan tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Selain itu, Kerajaan Melayu juga terlibat dalam beberapa kali pertempuran melawan Kerajaan Aceh. Hubungan anrata Melayu dan Aceh semakin memanas ketika Melayu menjalin kerjasama dengan Belanda untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Permusuhan antara kedua kerajaan tersebut berlangsung sampai Aceh mulai surut sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang meninggal dunia tahun 1636. Setelah itu, kekuatan Kerajaan Melayu terpusat untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Pada bulan Juni 1640, Kerajaan Melayu yang bekerjasama dengan Belanda melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Portugis kalah pada bulan Januari 1641.
Hubungan baik Kerajaan Melayu dengan Belanda berlangsung sampai tahun 1784. Tanggal 30 Oktober 1784, Kerajaan Melayu diserang Belanda dan ditaklukkan. Kerajaan Melayu kemudian mengakui kekuasaan Belanda, mulailah era kolonialisme di Keranaan Melayu.
Sebagai mana daerah lain di Indonesia, di Riau terjadi berbagai perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme. Perlawanan besar dilakukan rakyat di daerah Rokan di bawah pimpinan Tuanku Tambusai (1820-1839). Sebelum berjuang melawan Belanda di Rokan, Tuanku Tambusai berjuang dalam perang Padri, bersama-sama gurunya, yaitu, Tuanku Imam Bonjol. Namun tuanku Tambusai tidak berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Dia kemudian menyingkir ke Malaka dan menetap di daerah Seremban.
Selain tuanku Tambusai, masih banyak tokoh lain yang mengobarkan perlawanan rakyat terhadap kolonoalisme Belanda. Namun semua perlawanan tersebut dapat dipatahkan Belanda. Beberapa tokoh yang memimpin perlawanan rakyat adalah Panglima Besar Sulung yang memimpin perlawanan rakyat Retih tahun 1857, Datuk Tabano di Muara Mahat (1898), dan Sultan Zainal Abidin di Rokan (1901-1904). Setelah berbagai perlawanan tersebut dapat diredam, Belanda semakin menancapkan kekuatannya di Riau. Awal abad ke 20 merupakan era munculnya semangat nasionalisme. Tahun 1916 berdiri Serikat Dagang Islam di Pekanbaru, didirikan oleh Haji Muhammad Amin. Tahun 1930 berdiri Serikat Islam di Rokan Kanan, didirikan oleh H.M. Arif. Setelah itu muncul beberapa organisasi lain seperti Muhammadiyah. Tahun 1942, Jepang masuk dan menguasai daerah Riau. Di era penjajahan Jepang ini, rakyat semakin sengsara karena seluruh kegiatan rakyat ditujukan untuk mendukung peperangan yang sedang dilancarkan Jepang di seluruh Asia Pasifik. Hasil pertanian rakyat dirampas dan penduduk laki-laki banyak yang dijadikan romusha.
Kabar tentang proklamasi kemerdekaan sampai ke Riau tanggal 22 Agustus 1945, namun  teks lengkapnya baru sampai ke Pekanbaru seminggu kemudian. Meskipun sudah mengatehui dengan pasti perihal kemerdekaan, namun rakyat Riau tidak berani langsung menyambutnya. Hal ini karena tentara Jepang masih lengkap dengan senjatanya dan belum adanya pelopor yang meneriakan kemerdekaan.  Baru pada tanggal 15 September 1945, para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Muda PTT berinisiatif untuk menyuarakan kemerdekaan, sejak hari tiu, pekik kemerdekaan terdengan diseluruh pelosok Riau. Di awal kemerdekaan, Riau tidak langsung menjadi provinsi, melainkan menjadi bagian dari provinsi Sumatera. Pada saat Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Riau menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Baru pada tahun 1957, status Riau meningkat menjadi Provinsi.

TOKOH PEJUANG DAN INTELEKTUAL MELAYU RIAU ERA AWAL
Upaya untuk menelusuri pemikiran dan sepak terjang Raja Ali Haji sudah cukup banyak ditulis. Tulisan ulama ini yang dimuatkan dalam artikel ini merupakan petikan dan penambahan saja dari buku penulis yang berjudul Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1. Penulis memulakan kisah ulama ini dengan kalimat berikut, “Ulama yang bermazhab Syafie (pengikut akidah Ahli Sunah wal Jamaah Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan pengamal Tarekat Naqsyabandiyah dalam sufiah, yang berasal dari Riau ini) lain pula kepopularannya.
“Beliau lebih banyak mengarang di bidang ilmiah-ilmiah lain dari pengetahuan fiqh dan hukum-hukum keislaman, sehingga namanya sangat terkenal dalam bidang bahasa dan kesusasteraan Indonesia dan Malaysia”. Karangan mengenai bahasa Melayu menyerlahkan namanya menjadi tersohor bagi dalam masyarakat Melayu sendiri mahu pun pengkaji-pengkaji bahasa dari kalangan kaum penjajah terutama sarjana yang berasal dari Belanda.
Nama lengkap beliau ialah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-Syahidu fi Sabillah bin Upu Daeng Celak, yang lebih masyhur dengan sebutan Raja Ali Haji saja. Beliau dilahirkan di Pulau Penyengat Indera Sakti yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Raja Ali Haji dilahirkan oleh ibunya, Hamidah binti Panglima Malik, Selangor, tahun lahirnya tercatat pada 1809. Raja Ali Haji mempunyai beberapa orang saudara, semuanya ada 16 orang. Mereka ialah: Raja Abdul Majid, Raja Abdul Wadud, Raja Haji Umar/Tengku Endut, Raja Haji Ali, Raja Abdullah (Amir Karimun), Raja Usman, Raja Abdul Hamid, Raja Muhammad Sa’id, Raja Kecik, Raja Shaliha, Raja Fatimah, Raja Aisyah, Raja Shafiyah, Raja Maimunah, Raja Hawi, dan Raja Maryam.
Beberapa orang adik-beradik Raja Ali Haji yang tersebut di atas, mahupun keturunan-keturunan mereka yang berperanan dalam masyarakat Melayu akan diceritakan lebih lanjut dalam siri-siri yang berikutnya.
‘Sambungan petikan daripada karangan penulis sendiri dalam buku, Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Kira-kira tahun 1822 sewaktu ia masih kecil, ia pernah dibawa oleh orang tuanya ke Betawi/Jakarta. Ketika itu orang tuanya, Raja Haji Ahmad, menjadi utusan Riau untuk menjumpai Gabenor Jeneral Baron van der Capellen. Berulang-ulang kali Raja Haji Ahmad menjadi utusan (kerajaan Riau) ke Jawa itu, waktu yang berguna itu telah dimanfaatkan oleh puteranya Raja Ali untuk menemui banyak ulama, untuk memperdalam pengetahuan Islamnya, terutama ilmu fiqh. (Di antara ulama Betawi yang sering dikunjunginya ialah Saiyid Abdur Rahman al-Mashri. Kepada ulama ini Raja Ali Haji sempat belajar Ilmu Falak)”.
Selain dapat memperdalam ilmu keislaman, Raja Ali Haji juga banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan hasil pergaulan dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda seperti T. Roode dan Van Der Waal yang kemudian menjadi sahabatnya. Kira-kira tahun 1827/1243H Raja Ahmad pergi ke Mekah al-Musyarrafah, puteranya Raja Ali Haji ikut serta.
Raja Ahmad dan Raja Ali Hajilah di antara anak Raja Riau yang pertama menunaikan ibadah haji itu. Raja Ali Haji tinggal dan belajar di Mekah untuk suatu masa yang agak lama. Semasa di Mekah Raja Ali Haji sempat bergaul dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dalam beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab Raja Ali Haji sempat belajar dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani yang ketika itu adalah sebagai seorang besar (sebagai Ketua Syeikh Haji dan sangat berpengaruh) di kalangan masyarakat Melayu di Mekah.
Ia bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Barangkali ketika itu pulalah Raja Ali Haji sempat mempelawa ulama yang berasal dari Banjar itu supaya bersedia pergi ke Riau, menurut rencananya jika mendapat persetujuan akan dijadikan Mufti di kerajaan Riau. Dalam perjalanannya ke Mekah itu, Raja Haji Ahmad dan puteranya Raja Ali Haji pula mengambil kesempatan berkunjung ke Kaherah (Mesir), setelah itu kembali ke negerinya Pulau Penyengat, Riau.
Di kerajaan Riau-Johor pada zaman dulu memang ramai ulama pendatang di antaranya Habib Syaikh keturuan as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri dan ramai lagi. Apatah lagi saudara sepupu Raja Ali Haji yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yamtuan Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845-1857) menggantikan saudaranya Raja Abdur Rahman bin Raja Haji Yamtuan Muda Kerajaan Riau VII (taun 1833-1845). Apabila Raja Ali Haji pulang dari Mekah beliau disuruh oleh saudara sepupunya itu mengajar agama Islam, (Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada Raja Ali Haji).
Agak lama juga Raja Ali Haji terjun ke dunia pendidikan. Dikatakan bahwa beliau telah mengajar Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Usuluddin, Ilmu Fiqh, Ilmu Tasauf dan lain-lain. Raja Ali Haji memang berkemampuan tentang berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam, bahkan beliau memang seorang ulama besar pada zamannya. Ramai murid Raja Ali Haji yang menjadi tokoh terkemuka sesudahnya, di antaranya Raja Haji Abdullah yang kemudian menjadi Yamtuan Muda Riau IX, tahun 1857-1858, Saiyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.
Dalam ilmu syariat, Raja Ali Haji berpegang teguh dengan Mazhab Syafie, dalam iktikad berpegang akan faham Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, sedang dalam amalan tasauf beliau adalah seorang penganut Tarekat Naqsyabandiyah dan mengamalkan Selawat Dalail al-Khairat yang dibangsakan kepada Saiyid Sulaiman al-Jazuli, yang diamalkan secara beruntun sejak datuk-datuknya terutama Raja Haji as-Syahidu fi Sabilillah yang ketika akan meninggalnya masih tetap memegang kitab selawat tersebut di tangannya, sementara pedang terhunus di tangannya yang satu lagi.Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Nama kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang bertambah masyhur dengan kemunculan Raja Ali Haji dengan pelbagai karangannya yang bercorak sejarah yang banyak dibicarakan oleh ahli bahasa dan sastera di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan menjadi perhatian yang serius oleh orientalis Barat”.
Riau dikatakan sebagai pusat kebudayaan Melayu dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang tiada tolok bandingnya di kala itu. Raja Ali Haji sebagai tokoh sejarah, ahli bahasa/sastera Melayu dan yang terkenal dengan “Gurindam Dua Belasnya” banyak dibicarakan orang. Akan tetapi belum begitu popular bahwa beliau adalah seorang ulama besar Islam (dunia Melayu). Tentang penulisan Ilmu Fiqh, Tauhid dan Tasauf Raja Ali Haji bukanlah seorang penulis yang produktif seperti gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Walau bagaimanapun diakui ada karya Raja Ali Haji ke arah itu di antaranya Jauharatul Maknunah. Syair Sultan Abdul Muluk pernah diterbitkan oleh Roorda van Eysinga dalam Tijdshrift voor Nederlandsch-India, IX, 4, 1847M, dan diterbitkan di Batavia 1958 M. Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Tentang karya-karya Raja Ali Haji yang tersebut di atas, penjelasan satu persatu adalah sebagai yang berikut, Gurindam Dua Belas banyak dibicarakan dalam pelajaran sastera. Drs. Zuber Usman dalam bukunya, Kesusasteraan Lama Indonesia, beliau menyalin beberapa untaian gurindam itu. Di antara gurindam fasal kesebelasnya.
Dinamakan Gurindam Dua Belas ialah kerana terdiri dari dua belas fasal. Yang terkandung dalam Gurindam Dua Belas ialah perkara yang menyangkut ibadat individu, kewajipan-kewajipan para raja dan sifat-sifat masyarakat, kewajipan orang tua kepada anak dan sebaliknya kewajipan anak kepada orang tua, dan lain-lain.
Sutan Takdir Ali Syahbana memuat Gurindam Dua Belas dalam bukunya Puisi Lama, tahun 1969 diterbitkan lagi dengan suatu pembicaraan Drs.Shaleh Saidi tentang gurindam itu. Penerbitannya diusahakan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan, Singaraja. Gurindam Dua Belas pernah dikumpulkan oleh Elisa Netscher dan diajarkan dalam Tijdshrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde No. 2, tahun 1853 dengan judul De Twaalf Spreukgedichten.
Bustanul Katibin, ditulis tahun 1267H/1850M, diterbitkan dengan huruf batu (litografi) di Pulau Penyengat Riau. Kandungannya membicarakan penulisan bahasa Melayu, tatabahasa Melayu yang disesuaikan dengan tatabahasa (nahu dan sharaf) dalam bahasa Arab. Bustanul Katibin terdiri dari 31 pasal, tebalnya hanya 70 halaman.
Kitab Pengetahuan Bahasa, ditulis tahun 1275 H/1858M, menggunakan nama pengarang pada halaman depan cetakan Al-‘Alim Al-Fadhil Al-Marhum Raja Ali Haji ibni Al-Marhum Raja Haji Ahmad ibni Al-Marhum Yang Di Pertuan Muda Raja Haji Asy-Syahid fi Sabilillah Ta’ala … , terbitan pertama, penggal yang pertama Matba’ah Al-Ahmadiah, 82, Jalan Sultan, Singapura, 10 Rejab 1348 H/11 Disember 1929.
Terbitan kedua telah penulis atau Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, usahakan tahun 1417 H/1996 dengan lampiran Sejarah Ringkas Matba’ah Al-Ahmadiah Singapura dan Raja Haji Umar bin Raja Hasan (Cucu Raja Ali Haji)]. Kitab tersebut adalah kamus bahasa Melayu yang lebih menekankan loghat Melayu Johor, Pahang dan Riau-Lingga. Cetakan pertama setebal 466 halaman, cetakan kedua 483 halaman dengan pendahuluan setebal 32 halaman. Kitab ini tidak sempat selesai, hanya sampai pada huruf (Ca) saja.
Tsamratul Muhimmah, judul lengkap Tsamratul Muhimmah Dhiyafatu lil Umara’ wal Kubara’ li Ahlil Mahkamah. Diselesaikan pada hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M. Tempat diterbitkan ada dinyatakan pada halaman depan Office Cap Gubernement Lingga, 1304 H. Di halaman belakang dinyatakan ‘Tercap di Lingga An Street Printing Office, Muharam 1304H/1886M. Diterbitkan lagi oleh Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1420H/1999M (cetakan yang kedua), nombor siri 28 dengan ukuran 20.4 x 13.5 cm, setebal 79 halaman. Kitab tersebut adalah pedoman untuk raja-raja, hakim, menteri serta pembesar-pembesar lain dalam sesuatu kerajaan atau pemerintahan.
Silsilah Melayu dan Bugis (No. 6), ditulis pada 15 Rabiulakhir 1282H/1865M. Naskhah asalnya adalah dari Saiyid Syarif Abdur Rahman bin Saiyid Qasim, Sultan Pontianak, bin Syarif Abdur Rahman al-Qadri, bahwa naskhah itu telah ditulis oleh Haji Abdullah anak Khairuddin peranakan Juanah pada tahun 1282H atau 1865M. Diterbitkan buat pertama kalinya (Matba’ah Al-Imam), Singapura, tahun 1329H/1911 M, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggeris tahun 1926 dan dimuat dalam JMBRAS. Pada 1956 diterbitkan di Johor atas perintah Mayor Jenderal Sir Sultan Ibrahim, Sultan Johor ketika itu, dicetak di Pejabat Cetak Kerajaan Johor oleh Markum bin Haji Muhammad Said.
Kitab Silsilah Melayu dan Bugis yang ditulis dengan huruf Melayu/Jawi atau huruf Arab dalam bahasa Melayu/Indonesia itu pernah dilatinkan oleh sasterawan Malaysia, Arena Wati tahun 1972, diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala Lumpur (Malaysia) pada tahun 1973.
Kandungan Silsilah Melayu dan Bugis ialah menceritakan asal usul keturunan Bugis di Luwu’ Sulawesi, kemudian kejayaan di dalam pengembaraannya di bahagian Barat Nusantara setelah menghadapi pelbagai tentangan dan peperangan yang sangat hebat dan secara berentetan. Mereka dapat berkuasa di Riau, Selangor, Mempawah, dan tempat-tempat lainnya. Silsilah Melayu dan Bugis adalah sangat penting untuk menyusun sejarah Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Malaysia.
Menyusul kitab Tuhfatun Nafis ditulis pada 3 Syaaban 1282H/1865M. Kitab Tuhfatun Nafis dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Silsilah Melayu dan Bugis. Kitab Tuhfatun Nafis adalah yang paling terkenal daripada semua karangan Raja Ali Haji. Kandungannya dimulakan dengan menjelaskan sejarah Singapura, Melaka dan Johor yang kemudian dilanjutkan tentang Riau dikalahkan oleh Belanda. Kitab tersebut menguraikan kejadian-kejadian bersejarah mulai tahun 1677 hingga tahun 1865.
Dipaparkan dengan hebat kisah datuknya Raja Haji putera Upu Daeng Celak sehingga beliau mangkat menemui syahidnya di Teluk Ketapan, Melaka. Kitab Tuhfatun Nafis pernah diterbitkan oleh R. O. Winstedt dalam tahun 1932, dimuat dalam JMBRAS, dalam tahun 1965 oleh Malaysia Publication di Singapura dengan edisi tulisan Rumi/Latin, dan Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam merupakan transliterasi oleh Virginia Matheson Hooker diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1991.
Bagaimanapun, ada sarjana yang berpendapat kitab Tuhfatun Nafis bukan karangan Raja Ali Haji tetapi karangan ayahnya Raja Haji Ahmad yang terkenal itu. Muqaddimah fi Intizham, judul lengkapnya ialah Muqaddimah fi Intizhamil Wazhaifil Muluki Khushusan ila Maulana wa Shahibina wa Akhina Yang Di Pertuan Muda Raja Ali al-Mudabbir lil Biladir Riyauwiyah wa Sairi Dairatihi, menurut Hasan Junus, ialah sebuah risalah tipis berisikan tiga buah wazifah untuk dijadikan pegangan oleh seorang pemegang kendali dan kemudi negeri ketika mengangkat rencana hukum sebelum menjatuhkan hukuman. Seterusnya Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai. Mengenai judulnya, Abu Hassan Sham menyebut, “Nama syair ini tidak pernah tercatat sebelum ini, tetapi ini bukan bermakna syair ini tidak disedari oleh sarjana-sarjana Barat. Mereka mengetahui syair ini dengan nama yang lain yaitu Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah”. Syair Sinar Gemala Mustika Alam, syair ini pernah diterbitkan oleh Matba’ah ar-Riyauwiyah Pulau Penyengat, tahun 1311H/1893M].
Jauharatul Maknunah, dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah ditulis dalam bentuk syair. Kandungannya mengenai pelajaran fiqh, atau pelajaran agama Islam, yang digubah dalam bentuk puisi. Jauharatul Maknunah diterbitkan oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, pada 7 Muharam 1342H. Jauharatul Maknunah ditashih oleh Raja Haji Abdullah bin Raja Haji Hasan Riau, diterbitkan atas usaha Raja Haji Ali bin Raja Haji Muhammad Riau, Mudir Matba’ah Al-Ahmadiah yang ada hubungan keturunan kekeluargaan dekat dengan pengarangnya, Raja Ali Haji.
 
KETURUNAN

Putera/puteri Raja Ali Haji ada 17 orang yaitu: Raja Haji Hasan, Raja Mala’, Raja Abdur Rahman, Raja Abdul Majid, Raja Salamah, Raja Kaltsum, Raja Ibrahim Kerumung, Raja Hamidah, Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, Raja Khadijah, Raja Mai, Raja Cik, Raja Muhammad Daeng Menambon, Raja Aminah, Raja Haji Salman Engku Bih, Raja Siah dan Raja Engku Amdah.
Raja Haji Hasan (No. 1) memperoleh 12 orang anak yang terkenal sebagai ulama dan tokoh ialah; Raja Haji Abdullah Hakim, Raja Khalid Hitam, meninggal dunia di Jepang, Raja Haji Abdul Muthallib, Raja Mariyah, Raja Manshur, Raja Qamariyah, Raja Haji Umar, Raja Haji Andi, Raja Abdur Rasyid, Raja Kaltsum, Raja Rahah dan Raja Amimah.
Senarai karangan Raja Ali Haji yang telah diketahui adalah seperti berikut :
·         Syair Sultan ‘Abdul Muluk, hari Rabu, 8 Rejab 1262H/1846M
·         Gurindam Dua Belas, tahun 1846M
·         (Bustanul Katibin lis Shibyanil Muta’allim), tahun 1267 H/1850M
·         Kitab Pengetahuan Bahasa, tahun 1275 H/1858M
·         (Tsamaratul Muhimmah), diselesaikan hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M
·         Silsilah Melayu dan Bugis, 15 Rabiulakhir 1282H/1865M
·         (Tuhfatun Nafis), 3 Syaaban 1282 H/1865M
·         (Muqaddimah fi Intizham)
·         Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai
·         Syair Sinar Gemala Mustika Alam
·         (Jauharatul Maknunah), dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah

ENGKU PUTRI RAJA HAMIDAH DAN PULAU PENYENGAT

Siapa menyangka jika Pulau Penyengat ternyata merupakan mas kawin yang diberikan Sultan Mahmud Marhum Besar alias Marhum Mesjid sang penguasa Kerajaan Johor kepada Engku Puteri Raja Hamidah alias Engku Puteri. Dalam rentetan sejarah, belum ada satupun permaisuri raja yang mendapat mas kawin sebesar mas kawin yang diperoleh Engku Puteri. Kiranya, Engku Puteri boleh berbangga karena hingga kini tak satupun wanita di dunia yang mengalahkan ”prestasinya” itu.  Kisah ini boleh jadi diragukan, mengingat tak satupun catatan sejarah menorehkan kebenarannya. Namun, meskipun tidak tercatat dalam kitab sejarah, ternyata kisah ini sangat melekat kuat di kalangan masyarakat Melayu yang diceritakan secara turun temurun sebagai cerita pusaka.
Menurut Tuhfat al-Nafis, Pulau Penyengat pada awalnya merupakan pulau yang berfungsi sebagai kubu atau benteng yang dipakai Raja Ali Haji atau dikenal dengan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau melawan VOC/Belanda. Benteng Pulau Penyengat ini dipertahankan oleh orang-orang Siantan yang terkenal sangat tinggi semangatnya dalam pertempuran. Baru kemudian pada abad ke-19 pulau ini menjadi tempat tinggal setelah kepemilikannya diserahkan kepada Engku Puteri dan kemudian menjadi tempat kedudukan resmi atau pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda.
Siapa sebenarnya Engku Puteri Raja Hamidah sehingga kepadanya diberikan mas kawin yang tiada tandingannya hingga sekarang? Ia adalah perempuan Riau yang sangat istimewa dalam sejarah Melayu. Ia bukan sekedar perempuan di balik kekuasaan Sultan Mahmud Marhum Besar, melainkan juga pemilik Pulau Penyengat Indera Sakti yang menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan Riau-Lingga dan daerah taklukannya (Riau-Lingga-Johor-Pahang). Bahkan, Engku Puteri juga memegang kendali pemerintahan sekaligus pemegang regalia atau alat-alat kebesaran kerajaan Riau-Lingga.
Sosok Engku Puteri dalam buku ini digambarkan sangat bersahaja. Kebersahajaannya merupakan hal yang sangat istimewa karena selain sebagai isteri raja, ia juga salah satu puteri Raja Ali Haji dari isterinya yang bernama Raja Perak binti Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja. Engku Puteri sendiri merupakan isteri keempat yang dipersunting Raja Mahmud Marhum Besar tahun 1803 M. 
Engku Puteri merupakan wanita paling disegani dan sangat dihormati pada masa akhir kerajaan Riau-Lingga dan daerah taklukannya. Hancurnya kerajaan Riau-Lingga secara kronologis berawal dari wafatnya Sultan Mahmud pada 12 Januari 1812 M, dan dinobatkannya salah satu putera Sultan Mahmud oleh Raja Jaafar (saudara seayah Engku Puteri) tanpa meminta persetujuan Engku Puteri sebagai pemegang regalia kerajaan. Tanpa persetujuannya, regalia kerajaan tidak akan diserahkan kepada raja baru. Selain itu, ditangannyalah sebenarnya tonggak kerajaan dipertaruhkan. Perseteruan dua anak tirinya dalam memperebutkan jabatan kekuasaan sepeninggal suaminya dan sikap kerasnya dalam mempertahankan regalia turut memperkeruh suasana.
Menurut sumber dari beberapa naskah Melayu kuno dan teks-teks asing dalam buku ini, diceritakan bahwa regalia kerajaan atau alat-alat kebesaran dalam adat istiadat Melayu dianggap sakral atau keramat karena melambangkan kebesaran dan kekuasaan, penuh dengan kekuatan magis yang dapat mempengaruhi keadaan kosmos, menolak pelbagai bahaya seperti wabah, bencana alam, ataupun gejolak masyarakat.
Pada umumnya, regalia di kerajaan-kerajaan Nusantara berupa payung, tepak sirih, peralatan dari emas, perak, persenjataan dan sebagainya. Semua benda-benda itu sangat penting terutama digunakan pada saat upacara pelantikan seorang raja. Penabalan atau penobatan seorang raja dianggap tidak memenuhi syarat apabila tidak disertai oleh kebesaran itu. Tak heran, karena nilai legitimasi yang terkandung di dalamnya, benda-benda tersebut sering diperebutkan.
Sumber teks Belanda menyebutkan bahwa Engku Puteri enggan menyerahkan regalia kerajaan kepada Sultan Abdurrahman (putra tiri bungsu) karena ia lebih memihak Sultan Husin (putra tiri sulung). Namun, sejarah berkata lain. Perseteruan dua saudara kandung ini menjadikan Sultan Abdurrahman meminta bantuan pemerintah Hindia-Belanda dengan mengatasnamakan Gubernur Jenderal agar regalia kerajaan itu diserahkan kepadanya. Sebaliknya, Sultan Husin yang ternyata juga berambisi menjadi raja meminta bantuan pihak Inggris untuk memperebutkan regalia itu. Konon kabarnya, ia bahkan berusaha mengkompensasikan regalia kerajaan itu dengan uang sebesar 50.000 ringgit Spanyol.
Engku Puteri menghadapi buah simalakama. Kedua anak tirinya saling berseteru memperebutkan tahta dengan menggadaikan marwah kerajaan. Sultan Husin yang menjadi kaki tangan pihak Inggris berusaha menerapkan money politic, sedangkan Sultan Abdurrahman menerapkan paksaan dengan menempatkan pasukan Belanda untuk mengepung istana Engku Puteri.
Menurut pakar adat Melayu, peristiwa money politic maupun pengambilan paksa regalia kerajaan merupakan penghinaan besar terhadap marwah kerajaan. Regalia kerajaan yang terbuat dari emas tersebut memuat nilai-nilai kebesaran. Jika hendak dibeli atau diambil paksa, maka lenyaplah nilai-nilai kebesaran itu. Dalam buku ini diungkapkan bahwa regalia yang terbuat dari emas itupun hanya akan tinggal logamnya saja, tidak lagi mengemban semangat kebesaran bangsa Melayu.
Sumber-sumber terpercaya dalam buku ini mengungkapkan bahwa regalia kerajaan menjadi penentu sah tidaknya penobatan seorang sultan. Penyerahan regalia kerajaan tanpa ”berkat” dari sang pemegangnya menjadi tidak bermakna apa-apa. Pada tanggal 13 Oktober 1822, regalia kerajaan itu memang sudah berpindah tangan, namun tanpa restu dari sang empunya, Engku Puteri.
Singkat cerita, penobatan Sultan Abdurrahman menjadi raja di Kerajaan Riau-Lingga tidak disaksikan oleh Engku Puteri, namun justru disaksikan oleh wakil pihak Belanda. Bahkan alunan gendang nobat dalam adat istiadat Melayu yang semestinya dialunkan dengan penuh khidmat dan takzim juga tercemari oleh kolaborasi lagu-lagu Eropa yang dimainkan oleh korp musik militer Belanda. Baru kali itu kesakralan penobatan raja menjadi sebuah upacara yang ”tidak biasa”. Ketidakhadiran Engku Puteri dan tiadanya restu terhadap penyerahan regalia kerajaan menjadi pertanda buruk peristiwa yang kelak terjadi. Setahun kemudian, kerajaan Riau-Lingga benar-benar mengalami kehancuran.

TUANKU TAMBUSAI
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.  Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan.” (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar ke Rao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain. Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahwa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih). Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali “Haji Muhammad Shalih”. Selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai “Tuanku Tambusai” selanjutnya digunakan nama ini.
Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahwa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahwa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah. Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan “Kaum Paderi” yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. “Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom.” (Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia hlm. 517).
Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik yaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahwa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam.
Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya.
Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah yaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri yaitu Mandailing.
Dari rakaman sejarah di atas dapat dilihat secara jelas bahwa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan).
Sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahwa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu. Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir yaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri. Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklIr. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. semua itu hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahwa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat. Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Agustus1995.

MELACAK PEREMPUAN PEJUANG RIAU


Disadari bahwa tidak banyak—untuk tidak dikatakan tidak ada— dari para tokoh perempuan yang muncul dalam lembar sejarah dunia Islam. Pertanyaan ini penting untuk diketengahkan karena posisi perempuan ikut terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat dan berperan dalam berbagai bidang—tidak hanya domestic domain, akan tetapi juga public domain— kian tenggelam. Menjadi menarik untuk diteliti, mengapa tokoh-tokoh perempuan dalam perjalanan sejarah Islam tertinggal beberapa langkah dibanding dengan tokoh laki-laki?, bahkan dalam beberapa kasus atau kurun waktu tertentu tokoh perempuan semakin jauh tertinggal, untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena sejarah ulama perempuan dan perjuangan perempuan adalah sejarah yang gelap. Tidak banyak yang dapat diketahui dari subyek ini, sehingga informasi yang dapat digali dalam masalah ini pun terbatas. Meski demikian, bukan berarti sejarah perempuan, khususnya yang terkait dengan tokoh-tokohnya, tidak tercover sama sekali dalam data sejarah.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan dunia Melayu Riau, meskipun kaum perempuan Melayu telah memainkan peranan yang sangat strategis, namun eksistensinya tidak muncul kepermukaan secara signifikan. Demikian pula dalam lintas sejarah nusantara dikenal sejumlah nama perempuan, seperti Cut Nya’ Dien, Cut Meutia, Martha Tiahohu, RA Kartini, dan lainnya, namun sosok perempuan Melayu jarang –untuk tidak dikatakan tidak ada—muncul kepermukaan. Sepertinya, perempuan Melayu tidak dinamis dan hanya berkutat pada wilayah domestic. Padahal, dalam lintas sejarah kreativitas perempuan Melayu telah banyak memberikan kontribusi, baik dalam ruang lingkup daerah, nusantara, bahkan internasional.
Ketidakmunculan sosok perempuan Melayu dalam pentas sejarah nusantara, paling tidak dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain : Pertama, factor publikasi yang terbatas. Faktor ini cukup memberikan informasi terhadap eksistensi perempuan Melayu. Kedua, factor politik yang “kurang memihak”. Ketiga, kelangkaan upaya penelitian yang mengapungkan kontribusi perempuan  pejuang Melayu. Akibatnya, informasi tentang perempuan pejuang Melayu menjadi sulit ditemukan. Keempat, kurangnya upaya untuk memunculkan pembuktian terhadap peran perempuan pejuang Melayu agar diakui oleh masyarakat, baik daerah, nusantara, bahkan internasional.

Sosok dan Perjuangan Perempuan Melayu ; Pembuktian Sejarah
            Dalam lintas sejarah Bumi Lancang Kuning, negeri ini telah banyak melahirkan kaum perempuan yang berkualitas dan telah banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban. Namun demikian, peran perempuan Melayu perlu dilhat dari periodesasinya. Paling tidak, ada dua periodesasi gerakan perempuan Melayu sepanjang sejarah, yaitu : Pertama, periode sebelum tahun 1945, perempuan Melayu lebih banyak berorientasi pada tugas domestic sebagai istri dan ibu. Pemahaman ini berangkat dari pemahaman masyarakat Melayu yang kuat dengan agama Islam. Mereka masih terpaku pada mainstream tradisi masyarakat Arab dan berupaya mengimplementasikan hadis Rasulullah : “Perempuan adalah tiang Negara, bila ia baik, maka Negara akan baik. Namun bila ia tidak baik, maka hancurlah Negara”. Sosok perempuan Melayu periode ini dapat dilihat dari sosok Cik Puan (pada masa pemerintahan Sultan Siak Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin), Dang Merdu (sosok ibu yang telah berhasil mendidik Hang Tuang menjadi seorang laksamana yang terkenal), atau yang sedikit keluar dari mainstream zamannya adalah Tengku Agong Syarifah Latifah (permaisuri Sultan Syarif Kasim II) yang berupaya mengangkat kaumnya dibidang pendidikan dengan mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School (1926). Sekolah ini menggabungkan kurikulum Belanda dengan keterampilan kaum perempuan (memasak dan menjahit). Ia juga mendirikan Madrasatul Nisa’ yang ditujukan untuk membekali kaum perempuan dengan pengatahuan agama Islam. Namun, sayangnya data dan kontinuitas kedua lembaga pendidikan ini tidak bisa terlihat lagi.
Kedua, periode setelah tahun 1945, kaum perempuan Melayu menunjukan semangat yang dinamis untuk mengngkat martabat kaumnya. Mereka telah memainkan perannya di luar wilayah domestic, baik sebagai guru, da’i, penulis dan wartawan, organisasi keagamaan, dan politik. Mereka antara lain adalah : (1). Tengku Maharatu (istri ke-2 Sultan Syarif Kasim II). Ia melanjutkan usaha dan perjuangan Tengku Agong. Di samping itu, ia juga mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama Tenun Siak. Masajo (1921-2008), seorang perempuan yang memiliki keterampilan menenun dengan berbagai motif yang memiliki kualitas tinggi. Namun sayang, hasil kreativitasnya tak pernah dipatenkan, sehingga tidak bisa diangkat menjadi bukti citra dan kemajuan keterampilan yang dimiliki perempuan Melayu yang berkualitas dunia. (2). Raja Khadijah binti Raja H. Usman. Ia adalah tokoh perempuan Melayu dari Kepulauan Riau. Ia berupaya mengangkat harkat kaumnya melalui organisasi keagamaan Aisyiah dan organisasi wanita Fujinkai. Pada masa Agresi Belanda II, ia aktif dalam BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat Indonesia Riau). Pada tahun 1951, ia ikut berpolitik melalui Masyumi. Bahkan, pada tahun 1985 ia pernah menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili PPP. (3). Syahawa HB. Ia adalah sosok perempuan Melayu yang mengajarkan kaumnya cara menenun. Di samping itu, sebagai istri seorang TNI, ia bersama-sama istri TNI berusaha menjelaskan kepada rakyat arti kemerdekaan dan mengirimkan kebutuhan TNI ke garis depan pertempuran. Sosok lain adalah Encik Hasnah. Ia mencoba mempertahankan tradisi Melayu agar tidak ditelan bumi. Tradisi budaya Melayu tersebut adalah menekat, menenun dan merias. Upayanya ini terus dilestarikan sampai saat ini, di tengah majunya arus globalisasi dan kehidupan modern. (4). Khadijah Ali (1925-186) berupaya mengangkat harkat martabat perempuan melalui jalur pendidikan. Dengan berbekal ilmu yang diperoleh di Diniyah Putri Padangpanjang, ia kemudian mendirikan sekolah Diniyah Putri di Pekanbaru. Hasil usahanya ini masih eksis sampai saat ini. Di samping itu, ia juga merupakan sosok perempuan Melayu yang dinamis. Ia pernah aktif di Aisyiah, anggota BP4 Riau, anggota BKOW Riau, pendiri RS Islam Riau, anggota DPRGR, anggota DPRD Kampar, anggota DPRD Pekanbaru, dan sejumlah aktivitas lainnya. (5). Fatimah binti Suhil. Meskipun ia lair di Bagan Siapi-api, namun setelah berhasil menamatkan pendidikan pada Kulliyatul Mu’allimat Islamiyah Padangpanjang, ia memilih Siak sebagai tempat perjuangannya. Di sini, ia aktif diredaksi Riau KOHO (Surat Kabar Jepang) dan menjadi anggota palang merah yang ikut membantu para pejuang RI. (6). Azizah Ali (1945-sekarang), Halimah Hadi (1927-2007), Maimanah Umar (1937-sekarang), Misbah Jalila, Radjiah rahim (1924-2006), Rahmah Hamid (1928-sekarang), Roslani (1938-sekarang), Rosnaniar (1942-sekarang), Sarfinah Natsir (1929-2002), Tengku Badi’ah (1928-sekarang). Mereka adalah perempauan Melayu yang aktif dalam masa peperangan dan politik pasca kemerdekaan. (7). Wak Setah, seorang perempuan Melayu yang memiliki kemampuan bertutur (bercerita) yang sangat brilyan. Sayangnya, penuturan cerita yang pernah disampaikan tak pernah dibukukan, sehingga sulit ditemukan lagi. Padahal, mayarakat Melayu modern telah banyak yang tidak lagi mengetahui cerita daerahnya akibat arus novel modern yang tidak mencerminkan nilai Melayu yang Islami. (8). Rahmah Hamid (1928-sekarang), seorang sosok perempuan Melayu yang memiliki kemampuan berdakwah dan kualitas ilmu agama yang dapat dipersandingkan dengan kaum laki-laki. Bahkan, ia dipercaya sebagai ketua MUI Kabupaten Indra Giri Hilir sejak 2003 sampai sekarang. Fenomena ini sangat langka, karena pada umumnya psosisi ketua MUI diduduki oleh kaum laki-laki. Keunikan ini dapat terlihat pada kualitas perempuan Melayu.

Eksistensi Perempuan Pejuang Melayu
Dari paparan bukti historis di atas, terlihat dinamika dan kualitas perempuan pejuang Melayu sepanjang sejarah Bumi Lancang Kuning. Namun, eksistensinya menjadi “kelam” karena kurang diapungkan kepermukaan. Padahal, sumbangan yang telah diberikan oleh perempuan pejuang Melayu –baik langsung maupun tidak langsung--  telah dapat dirasakan secara luas. Ada beberapa indikasi untuk membuktikan peran perempuan Melayu di nusantara, yaitu : Pertama,  mereka aktif secara langsung membantu upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Namun, sayangnya eksistensi mereka terlupakan di bidang ini. Kedua, mereka aktif dalam upaya mencerdaskan bangsa dan khususnya kaum perempuan Melayu. Upaya yang mereka lakukan antara lain dengan mendirikan lembaga pendidikan yang khusus untuk kaum perempuan. Materi pelajaran yang dikemas mencerminkan kecerdasan kaum perempuan Melayu. Mereka menggabungkan kurikulum Belanda, ajaran Islam, dan keterampilan yang dibutuhkan kaum perempuan secara integral. Sebuah upaya cerdas yang pada zamannya –bahkan hari ini--  sulit untuk ditemukan. Ketiga, mereka aktif dibeberapa organisasi keagamaan dan politik, serta dunia jurnalistik. Di sini terlihat bagaimana merdekanya kaum perempuan Melayu “mensejajarkan” posisinya dengan kaum laki-laki. Untuk itu, ketika kesetaraan gender dimunculkan saat ini, sesungguhnya kaum perempuan Melayu sudah lebih dahulu maju digarda terdepan. Keempat, kaum perempuan Melayu berupaya mempertahankan budaya nenek moyang –dengan ruh Islam--  dan bahkan mengembangkan budaya tersebut. Kreativitas perempuan Melayu telah memunculkan bentuk karya yang memiliki nilai tinggi. Bahkan, apa yang telah mereka hasilkan tidak diperoleh diwilayah lainnya.
Apa yang telah dilakukan perempuan Melayu, sesungguhnya dapat disetarakan –bahkan--  lebih tinggi dari apa yang telah dilakukan oleh kaum perempuan lainnya di nusantara. Katakanlah apa yang dilakukan RA Kartini atau Rahmah el-Yunusiah di bidang pendidikan kaum perempuan. Padahal dunia Melayu memiliki sosok Tengku Agong Syarifah Latifah. Atau Rasuna Said dibidang jurnalistik, bumi Lancang Kuning memiliki sosok Fatimah binti Suhil. Apatahlagi sosok pejuang seperti Cut Nya’ Dien, Cut Meutia atau beberapa pejuang perempuan di nusantara. Apa yang telah dilakukan oleh perempuan Melayu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sesungguhnya dapat disejajarkan dengan apa yang telah dilakukan kaum perempuan yang telah dikenal di nusantara sebagai sosok pahlawan nasional. Pertanyaannya adalah, kenapa mereka bisa dikenal secara luas, sementara apa yang dilakukan perempaun Melayu tidak dikenal, bahkan untuk lingkup daerah ?.
Ada beberapa factor kenapa kaum perempuan pejuang Melayu kurang terekspos, padahal mereka telah banyak memberikan pengaruh pada zamannya. Faktor kelemahan ini sekaligus dapat digunakan sebagai upaya kedepan agar perempaun pejuang Melayu dapat disejajarkan dengan pejuang perempaun lainnya di nusantara, bahkan dunia. Faktor tersebut antara lain adalah : Pertama, kekuatan politik untuk memperjuangkan tokoh perempuan pejuang Melayu secara nasional, baik sumbangannya sebagai pahlawan, pemikir, maupun budayawan dengan hasil seni yang berkualitas sangat tinggi. Kedua, publikasi sosok “pejuang” perempuan Melayu melalui media cetak, sehingga eksistensi mereka dikenal secara luas. Untuk itu, upaya mempublikasikan sosok pejuang perempuan Melayu perlu dilakukan secara nasional, bukan sebatas publikasi local. Ketiga,  menjadikan sosok tokoh pejuang perempuan Melayu sebagai nama gedung, hotel, sekolah, atau jalan. Dengan upaya ini, paling tidak masyarakat akan lebih mengenal sosok mereka. Keempat, sosialisasi ketokohan dan pemikiran pejuang perempuan Melayu, baik melalui kajian ilmiah maupun melalui kurikulum local mata pelajaran Budaya dan Adat Melayu pada lembaga pendidikan di Bumi Lancang Kuning. Kelima, pemerintah daerah dan dunia akademik di Riau perlu memikirkan upaya memberikan anugerah kepada mereka dan melestarikan apa yang telah mereka lakukan.
Upaya di atas perlu dilakukan secara cepat dan cermat oleh seluruh komponen yang ada di Bumi Lancang Kuning bila ingin membuktikan bahwa perempuang Melayu dan sejarah Melayu telah banyak memberikan kontribusi bagi perjuangan di nusantara. Bila hal ini tidak dilakukan, berarti kita adalah “bangsa kecil nan kerdil” yang telah menghilangkan kontribusi perempuan pejuang Melayu dan kontribusi Melayu Riau yang demikian tinggi di negeri ini.


DEMOKRASI DALAM TRADISI POLITIK ISLAM MELAYU
“Islam” dan “Melayu”. Dua kata ini menjadi semacam kata kunci untuk mengawali diskusi kita tentang budaya demokrasi dalam tradisi politik Islam Melayu. Yang ingin coba dilihat melalui tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam dunia Melayu jika diletakkan dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik (good governance).
Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Melayu” tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life. Sementara yang kedua, Melayu, berarti sebuah komunitas di wilayah tertentu, di mana Indonesia berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Melayu adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.
Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu slogan: “masuk Islam berarti menjadi Melayu”, atau dengan ungkapan lain: “menjadi Melayu berarti menjadi Muslim”. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.
Dalam hal ini, bangsa Melayu menjadikan Islam (baca: Islam historis) sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, semisal Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai — dua teks yang masing-masing berbicara tentang kerajaan Samudra Pasai dan Malaka abad 14 dan 15— di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang raja Pasai misalnya, digambarkan bahwa sesaat setelah beralih ke agama Islam segera memakai gelar Arab, Sultan, dan, dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia dinyatakan sebagai “Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (Zillullah fil Alam). Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam Melayu ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan —di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran. Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Islam Melayu, berkembang paham bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, paham ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (Zillullah fil Ard). Seperti diisyaratkan di atas, berbagai teks Melayu klasik, semisal Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Adat Raja-raja Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Taj al-Salatin, Undang-undang Melaka dll. seringkali mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar serupa, semisal Zillullah fil Ard, Zillullah fil Alam, “Khalifah Allah di Bumi” dll. oleh para penguasa Islam Melayu.
Dalam tradisi politik Islam Melayu, seperti tampak dalam teks Sejarah Melayu atau Taj al-Salatin, misalnya, raja atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Raja dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Dalam hal ini, teks Taj al-Salatin menganalogikan Raja dan Nabi sebagai “ dua permata dalam satu cincin”. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Bahkan, dalam beberapa mata uang Malaka abad 15 misalnya, Sultan yang memerintah dinyatakan sebagai Nashir al-Dunya wa al-Din (Penolong dunia dan Agama). Oleh karenanya, kekuasaan raja atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.
Sifat mutlak kekuasaan raja atau penguasa dalam tradisi politik Islam Melayu ini kemudian lebih diperkuat lagi dengan konsep “setia” dan “derhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan kekuasaan raja, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar (derhaka) kepada raja akan menerima hukuman. Hukum sendiri, dalam Undang-undang Melaka misalnya, dikemukakan sebagai sebuah aspek martabat raja: “…siapa saja yang melanggar apa yang telah dinyatakan dalam undang-undang ini, dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan terhadap Sri Baginda…”. Pada gilirannya, posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan raja yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada asas rule of law, tidak terbuka terhadap keragaman, dan seterusnya.
Tentu saja, kendati banyak dipengaruhi unsur Islam, fenomena bentuk pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala-Islam, yang komunitasnya terikat dengan hukum-hukum syariat. Kenapa? karena —selain Islam yang dirujuk pun tidak bersifat menyeluruh— secara historis, dunia politik Melayu juga memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi masa pra-Islam, di mana sistem pemerintahan yang berpusat pada raja atau penguasa telah muncul, paling tidak dalam bentuk embrionya. Oleh karenanya, tidak heran kemudian jika struktur seremonial negara Islam Melayu, gelar-gelar, dan ritual-ritual yang memperlihatkan pencapaian duniawi dan spiritual dari elit dan masyarakat Melayu, seringkali juga memiliki “silsilah” dan keterkaitan dengan tradisi masa pra Islam.
Dengan penjelasan ini, satu hal dapat dipastikan, betapa tidak mudah untuk mencari benang merah antara nilai-nilai dalam sistem demokrasi —yang meniscayakan beberapa parameter tertentu— dengan tradisi politik Islam Melayu tersebut, meskipun benang merah itu tampaknya bukan tidak ada sama sekali. Masih dalam hal hubungan antara raja dengan rakyat misalnya, kendati posisi raja sangat dominan, namun tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat yang, dalam beberapa hal, bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks Sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Dalam kaitan inilah, wacana politik Melayu selanjutnya memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
Alhasil, melacak akar-akar demokrasi dalam tradisi politik Islam Melayu, tak ubahnya bagai mencari sesuatu yang hitam dalam gelap: ada, tetapi tidak gampang mencarinya! Yang harus menjadi catatan penting kita adalah, betapa pengalaman telah menunjukkan bahwa perumusan sistem pemerintahan, apapun bentuknya, ternyata dihasilkan melalui persentuhan antara budaya yang pernah ada dengan “sesuatu” yang datang kemudian. Jadi, kendati kita pernah memiliki pengalaman yang rada-rada gelap dalam hal berdemokrasi, toh sekarang kita sedang banyak bersentuhan, dan dengan sendirinya bisa “belajar”, dengan nilai-nilai demokrasi itu? Masalahnya, mau atau tidak!

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Yatim, 1989. Inventarisasi Benda-benda Koleksi Bersejarah Dalam Istana Siak Sri Indrapura, Mimeo, Pekanbaru.
Ahmad Yusuf, 1992. Sultan Syarif Kasim II Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura, Pemda Riau, Pekanbaru.
____________, 1993. Dari Kesultanan Melayu Johor – Riau ke Kesultanan Melayu Lingga – Riau, Pemda Riau, Pekanbaru.
Amir Luthfi, 1983. Unsur Islam Dalam Sistem Kpendidikan Kesultanan Siak Sri Indrapura, Lembaga Penelitian Masyarakat, Pekanbru.
Anthony Reid, 1987. Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera, penerbit sinar harapa, Jakarta.
Audrey R. Kahin, 1990. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Grafiti, Jakarta.
D. G. E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, Usaha Nasional, Surabaya.
Kuntowijaya, 1991. Metodologi Sejarah, Jurusan Sejarah UGM, Yogyakarta.
Maleha Aziz, 1984. Latar Belakang Pembangunan Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura, Pekanbaru.
Marlely Rahim, 1983. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, Depdikbud, Pekanbaru.
Muchtar Luthfi, 1977. Sejarah Riau, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi Budaya Riau, Pekanbaru.
Netscher, E. 1870. De Nederlanders in Djohore en Siak (1602-1865), Historiche Bescriving, Batavia: terj. Wan Ghalib dkk.
Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Jlid V, Balai Pustaka, Jakarta.
Rustam, S. Abrus. 1988. Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782-1784), Pemda Riau.
Soenjata Kartadarmadja. 1982. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Riau, Proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Sartono Kartodirdjo, 1992. Sejarah Pergerakan Nasional II, Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
______________, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Soedjatmoko, 1995. Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Suwardi MS, 1984 Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Riau, Dept. P & K, Jakarta.
___________, 1997. Sultan Syarif Kasim II, Sultan Siak Sri Indrapura (1915-1945), Calon Pahlawan Nasional, Pemda TK II Bengkalis.
Taufik Abdullah, 1990. Sejarah Lokal di Indonesia, GM University Press, Yogyakarta.
Tenas Efendi, 1993. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura, BPKD Riau, Pekanbaru.
Umar Ahmad, 1988. Silsilah Keturunan Raja-Raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan, Pekanbaru.




[1] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA adalah Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Suska Riau, Dosen  PPs UIN Suska Riau, Dosen STAI Nurul Falah Air Molek, serta pengurus Yayasan Masyarakat  Madani Riau. HP. 08126713901

Tidak ada komentar:

Posting Komentar