CATATAN AWAL
MENUJU UNIVERSALITAS SEJARAH MELAYU
PENDAHULUAN
Perubahan
Negara ke arah yang lebih maju, hendaknya diiringi dengan keinginan generasi
penerus untuk tidak melupakan sejarah bangsanya. Soekarno pernah mengatakan,
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai
jasa-jasa pahlawannya”. Semboyan ini perlu diabadikan karena banyaknya generasi
muda yang tidak mengetahui sejarah bangsanya. Bahkan para pelaku sejarah banyak
yang telah tiada dan bukti-bukti sejarah telah banyak yang rusak atau hilang, sehingga perlu kiranya
kita menggeneralisasikan sejarah kepada yang lebih muda.
Salah
satu cara menggeneralisasikan sejarah ini, yaitu dengan cara menggali, menyusun
dan menulis kembali sumber-sumber sejarah yang ada seobjektif mungkin menjadi
sebuah buku sejarah yang lebih refresentatif sehingga dapat dibaca dan
dipelajari oleh generasi penerus bangsa. Di antara sekian banyak sejarah bangsa
yang masih belum terkuak secara luas adalah Sejarah Melayu Riau.
ASAL
KATA RIAU
Hasil kajian Hasan Junus, seorang
peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada 3 kemungkinan asal
nama Riau, yaitu : Pertama, toponomi Riau berasal dari penamaan orang
Portugis dengan kata rio yang berarti sungai. Kedua,
mungkin berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila wa Laila (Seribu Satu Malam)
yang menyebut riahi, yang berarti air atau laut. Ketiga,
berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau
riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas,
maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat,
yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan
telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan Melayu dari
Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah
satu negeri dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor
dan Pahang.
Kemudian dengan Perjanjian London (1824)
antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua. Belahan Johor -
Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan Riau - Lingga berada
di bawah pengaruh Belanda. Dalam zaman penjajahan Belanda (1905 - 1942), nama
Riau dipakai untuk nama sebuah keresidenan, yang daerahnya meliputi Kepulauan
Riau serta pesisir Timur Sumatera bagian tengah.
Setelah Propinsi Riau terbentuk tahun
1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten,
dipergunakan pula untuk nama sebuah propinsi yang penduduknya dewasa itu
sebagian besar terdiri dari orang Melayu.
Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di
rantau ini, antara lain adalah:
- Kerajaan Inderagiri (1658-1838)
- Kerajaan Siak (1723-1858)
- Kerajaan Pelalawan (1530-1879)
- Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913)
- Kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).
Kata Melayu berasal dari kata Mala
dan Yu. Mala artinya mula atau permulaan, sedangkan
Yu artinya negeri. Melayu artinya negeri yang mula-mula
ada. Pendapat ini sesuai dengan perkembangan bangsa Melayu dari daratan
Asia Tenggara, pada kira-kira tahun 2000 sebelum Masehi dan 1500 sebelum Masehi
yang menyebar ke seluruh Indonesia. Pendapat lain mengatakan, bangsa Melayu
berasal dari kata layu yang artinya rendah. Maksudnya bangsa
Melayu itu rendah hati sangat hormat kepada pemimpinnya. Istilah Melayu ini
dipergunakan untuk menamakan sebuah Kemaharajaan Melayu dan Kerajaan Melayu
Riau. Perkataan Melayu juga dipakai menamakan rakyat pendukung
kerajaan-kerajaan tersebut sehingga terkenal sebagai suku Melayu dengan bahasa
yang dipergunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini pada masa dahulu menjadi Lingua
Franca di kawasan Asia Tenggara ini.
RIWAYAT PROPINSI RIAU
Riau dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1948, tentang pembagian Sumatera dalam tiga propinsi. Antara
lain Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Keinginan
rakyat Riau yang menghendaki daerah otonomi dibahas dalam berbagai kesempatan,
antara lain:
·
17 Oktober 1954 diadakan Kongres Pemuda Riau di
Pekanbaru.
·
7 Agustus 1955 diadakan Konperensi DPRDS I antar
empat kabupaten dalam Keresidenan Riau di Bengkalis.
·
7 September 1955 delegasi DPRDS empat Kabupaten
Riau menghadap Mendagri Mr. R. Soenarjo yang menghasilkan Keterangan Nomor
De/44/12/13/7 yang isinya, "Persoalan itu akan diberi perhatian
seperlunja, dan pembagian wilajah R.I. dalam daerah-daerah propinsi jang baru
sedang direntjanakan."
·
9 September 1955 dibentuk Badan Penghubung Persiapan
Propinsi Riau di Jakarta.
·
31 Januari s/d 2 Februari 1956 diselenggarakan
Kongres Rakyat Riau. 22 Oktober 1956, pertemuan para tokoh dengan Mendagri
Soenaryo. Menurut menteri, Undang-undang Pembentukan Propinsi Riau belum
disiapkan, namun akan diajukan dalam Sidang Parlemen permulaan 1957.
·
Sidang Kabinet 1 Juli 1957 menyetujui Riau dan
Jambi menjadi propinsi.
·
7 Agustus 1957, Undang-undang Propinsi Sumatera
Barat, Riau, Jambi disetujui.
·
9 Agustus 1957 diundangkan dalam Lembaran Negara
Nomor 75 dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1957 yang menetapkan pembentukan
Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
·
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 256/M/1958,
pada 5 Maret 1958 dilakukan pelantikan Gubernur KDH Propinsi Riau, SM Amin di
Tanjungpinang. Maka resmilah daerah Swatantra Tingkat I Propinsi Riau.
·
20 Januari 1959 ibukota propinsi kemudian
dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor Des 52/1/44-25. Gubernur SM Amin digantikan oleh Kaharuddin
Nasution yang dilantik pada 6 Januari 1960 di Pekanbaru.
Provinsi Riau terbentuk tahun 1957 dengan
Tanjung pinang sebagai ibukota sementara. Dikemudian hari ibukota Riau dipindah
ke Pekanbaru. Tokoh yang menduduki jabatan gubernur Riau pertama adalah S.M.
Amin. Sejarah di Riau terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Sejumlah
ahli sejarah berpendapat bahwa kerajaan ini berpusat di Palembang karena disana ditemukan prasasti
peninggalan Sriwijaya. Beberapa ahli sejarah lain mengatakan bahwa puat Kerajaan
Sriwijaya adalah di Muaratakus (Riau). Masa kajayaan Kerajaan Sriwijaya adalah
antara abad ke 11 sampai abad ke 12. ketika itu kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
meliputi eluruh wilayah Indonesia bagian barat dan seluruh Semenanjung
Melayu.
Pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, di Riau
muncul beberapa kerajaan. Salah satu kerajaan besar adalah Kerajaan Malaka yang
didirikan oleh Prameswara pada awal abad ke 14. Kerajaan Malaka mencapai puncak
kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah pada awal abad
ke 15. Kejayaan Malaka ini tidak lepas dari peran panglima angkatan lautnya,
yaitu, Laksamana Hang Tuah.
Kekuasaan Kerajaan Malaka berakhir tanggal 10
Agustus 1511. ketika itu, Ketika itu, Malaka ditaklukan oleh Portugis di bawah
pimpinan Alfonso d'Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang berhasil
menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun kerajaan baru di
Bintan. Kerajaan Melayu ini mewarisi kekuasaan Kerajaan Malaka yang meliputi
Kelantan, Perak, Trenggano, Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga,
Inderagiri, Kampar, Siak, dan Rokan.
Setelah merasa kuat, Sultan Mahmud Syah I
merencanakan untuk melancarkan serangan balasan terhadap Portugis di
Malaka. Dia kemudian melancarkan serangan berturut-turut tahun 1515, 1516,
1519, 1523, dan 1524. namun semua serangan tersebut tidak berhail menggoyahkan
pertahanan Portugis. Bahkan kemudian Portugis melancarkan serangan balasan
tahun 1526 dan berhasil menguasai Bintan.
Sultan Mahmud Syah I meninggal dunia tahun
1528 di Pekantua. Posisinya digantikan oleh putranya, yaitu, Sultan Alauddin
Riayat Syah II. Dia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menyikapi penjajah.
Pada masa kekuasaannya terjadi banyak peperangan melawan Portugis. Berbagai
peperangan tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Selain itu,
Kerajaan Melayu juga terlibat dalam beberapa kali pertempuran melawan Kerajaan
Aceh. Hubungan anrata Melayu dan Aceh semakin memanas ketika Melayu menjalin
kerjasama dengan Belanda untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Permusuhan antara
kedua kerajaan tersebut berlangsung sampai Aceh mulai surut sepeninggal Sultan
Iskandar Muda yang meninggal dunia tahun 1636. Setelah itu, kekuatan Kerajaan
Melayu terpusat untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Pada bulan Juni 1640,
Kerajaan Melayu yang bekerjasama dengan Belanda melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Malaka. Portugis kalah pada bulan Januari 1641.
Hubungan baik Kerajaan Melayu dengan Belanda
berlangsung sampai tahun 1784. Tanggal 30 Oktober 1784, Kerajaan Melayu
diserang Belanda dan ditaklukkan. Kerajaan Melayu kemudian mengakui kekuasaan
Belanda, mulailah era kolonialisme di Keranaan Melayu.
Sebagai mana daerah lain di Indonesia, di
Riau terjadi berbagai perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme. Perlawanan
besar dilakukan rakyat di daerah Rokan di bawah pimpinan Tuanku Tambusai
(1820-1839). Sebelum berjuang melawan Belanda di Rokan, Tuanku Tambusai
berjuang dalam perang Padri, bersama-sama gurunya, yaitu, Tuanku Imam Bonjol.
Namun tuanku Tambusai tidak berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Dia
kemudian menyingkir ke Malaka dan menetap di daerah Seremban.
Selain tuanku Tambusai, masih banyak tokoh
lain yang mengobarkan perlawanan rakyat terhadap kolonoalisme Belanda. Namun
semua perlawanan tersebut dapat dipatahkan Belanda. Beberapa tokoh yang
memimpin perlawanan rakyat adalah Panglima Besar Sulung yang memimpin
perlawanan rakyat Retih tahun 1857, Datuk Tabano di Muara Mahat (1898), dan
Sultan Zainal Abidin di Rokan (1901-1904). Setelah berbagai perlawanan tersebut
dapat diredam, Belanda semakin menancapkan kekuatannya di Riau. Awal abad ke 20
merupakan era munculnya semangat nasionalisme. Tahun 1916 berdiri Serikat
Dagang Islam di Pekanbaru, didirikan oleh Haji Muhammad Amin. Tahun 1930
berdiri Serikat Islam di Rokan Kanan, didirikan oleh H.M. Arif. Setelah itu
muncul beberapa organisasi lain seperti Muhammadiyah. Tahun 1942, Jepang masuk
dan menguasai daerah Riau. Di era penjajahan Jepang ini, rakyat semakin
sengsara karena seluruh kegiatan rakyat ditujukan untuk mendukung peperangan
yang sedang dilancarkan Jepang di seluruh Asia Pasifik. Hasil pertanian rakyat
dirampas dan penduduk laki-laki banyak yang dijadikan romusha.
Kabar tentang proklamasi kemerdekaan sampai
ke Riau tanggal 22 Agustus 1945, namun teks lengkapnya baru sampai ke
Pekanbaru seminggu kemudian. Meskipun sudah mengatehui dengan pasti perihal
kemerdekaan, namun rakyat Riau tidak berani langsung menyambutnya. Hal ini
karena tentara Jepang masih lengkap dengan senjatanya dan belum adanya pelopor
yang meneriakan kemerdekaan. Baru pada tanggal 15 September 1945, para
pemuda yang tergabung dalam Angkatan Muda PTT berinisiatif untuk menyuarakan
kemerdekaan, sejak hari tiu, pekik kemerdekaan terdengan diseluruh pelosok
Riau. Di awal kemerdekaan, Riau tidak langsung menjadi provinsi, melainkan
menjadi bagian dari provinsi Sumatera. Pada saat Sumatera dibagi menjadi tiga
provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Riau
menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Baru pada tahun 1957, status Riau
meningkat menjadi Provinsi.
TOKOH PEJUANG DAN INTELEKTUAL MELAYU RIAU
ERA AWAL
Upaya untuk menelusuri pemikiran dan sepak terjang Raja Ali Haji sudah cukup banyak ditulis. Tulisan ulama ini yang dimuatkan dalam artikel ini merupakan petikan dan penambahan saja dari buku penulis yang berjudul Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1. Penulis memulakan kisah ulama ini dengan kalimat berikut, “Ulama yang bermazhab Syafie (pengikut akidah Ahli Sunah wal Jamaah Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan pengamal Tarekat Naqsyabandiyah dalam sufiah, yang berasal dari Riau ini) lain pula kepopularannya.
“Beliau lebih banyak mengarang di bidang ilmiah-ilmiah lain dari pengetahuan fiqh dan hukum-hukum keislaman, sehingga namanya sangat terkenal dalam bidang bahasa dan kesusasteraan Indonesia dan Malaysia”. Karangan mengenai bahasa Melayu menyerlahkan namanya menjadi tersohor bagi dalam masyarakat Melayu sendiri mahu pun pengkaji-pengkaji bahasa dari kalangan kaum penjajah terutama sarjana yang berasal dari Belanda.
Nama lengkap beliau ialah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-Syahidu fi Sabillah bin Upu Daeng Celak, yang lebih masyhur dengan sebutan Raja Ali Haji saja. Beliau dilahirkan di Pulau Penyengat Indera Sakti yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Raja Ali Haji dilahirkan oleh ibunya, Hamidah binti Panglima Malik, Selangor, tahun lahirnya tercatat pada 1809. Raja Ali Haji mempunyai beberapa orang saudara, semuanya ada 16 orang. Mereka ialah: Raja Abdul Majid, Raja Abdul Wadud, Raja Haji Umar/Tengku Endut, Raja Haji Ali, Raja Abdullah (Amir Karimun), Raja Usman, Raja Abdul Hamid, Raja Muhammad Sa’id, Raja Kecik, Raja Shaliha, Raja Fatimah, Raja Aisyah, Raja Shafiyah, Raja Maimunah, Raja Hawi, dan Raja Maryam.
Beberapa orang adik-beradik Raja Ali Haji yang tersebut di atas, mahupun keturunan-keturunan mereka yang berperanan dalam masyarakat Melayu akan diceritakan lebih lanjut dalam siri-siri yang berikutnya.
‘Sambungan petikan daripada karangan penulis sendiri dalam buku, Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Kira-kira tahun 1822 sewaktu ia masih kecil, ia pernah dibawa oleh orang tuanya ke Betawi/Jakarta. Ketika itu orang tuanya, Raja Haji Ahmad, menjadi utusan Riau untuk menjumpai Gabenor Jeneral Baron van der Capellen. Berulang-ulang kali Raja Haji Ahmad menjadi utusan (kerajaan Riau) ke Jawa itu, waktu yang berguna itu telah dimanfaatkan oleh puteranya Raja Ali untuk menemui banyak ulama, untuk memperdalam pengetahuan Islamnya, terutama ilmu fiqh. (Di antara ulama Betawi yang sering dikunjunginya ialah Saiyid Abdur Rahman al-Mashri. Kepada ulama ini Raja Ali Haji sempat belajar Ilmu Falak)”.
Selain dapat memperdalam ilmu keislaman, Raja Ali Haji juga banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan hasil pergaulan dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda seperti T. Roode dan Van Der Waal yang kemudian menjadi sahabatnya. Kira-kira tahun 1827/1243H Raja Ahmad pergi ke Mekah al-Musyarrafah, puteranya Raja Ali Haji ikut serta.
Raja Ahmad dan Raja Ali Hajilah di antara anak Raja Riau yang pertama menunaikan ibadah haji itu. Raja Ali Haji tinggal dan belajar di Mekah untuk suatu masa yang agak lama. Semasa di Mekah Raja Ali Haji sempat bergaul dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dalam beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab Raja Ali Haji sempat belajar dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani yang ketika itu adalah sebagai seorang besar (sebagai Ketua Syeikh Haji dan sangat berpengaruh) di kalangan masyarakat Melayu di Mekah.
Ia bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Barangkali ketika itu pulalah Raja Ali Haji sempat mempelawa ulama yang berasal dari Banjar itu supaya bersedia pergi ke Riau, menurut rencananya jika mendapat persetujuan akan dijadikan Mufti di kerajaan Riau. Dalam perjalanannya ke Mekah itu, Raja Haji Ahmad dan puteranya Raja Ali Haji pula mengambil kesempatan berkunjung ke Kaherah (Mesir), setelah itu kembali ke negerinya Pulau Penyengat, Riau.
Di kerajaan Riau-Johor pada zaman dulu memang ramai ulama pendatang di antaranya Habib Syaikh keturuan as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri dan ramai lagi. Apatah lagi saudara sepupu Raja Ali Haji yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yamtuan Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845-1857) menggantikan saudaranya Raja Abdur Rahman bin Raja Haji Yamtuan Muda Kerajaan Riau VII (taun 1833-1845). Apabila Raja Ali Haji pulang dari Mekah beliau disuruh oleh saudara sepupunya itu mengajar agama Islam, (Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada Raja Ali Haji).
Agak lama juga Raja Ali Haji terjun ke dunia pendidikan. Dikatakan bahwa beliau telah mengajar Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Usuluddin, Ilmu Fiqh, Ilmu Tasauf dan lain-lain. Raja Ali Haji memang berkemampuan tentang berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam, bahkan beliau memang seorang ulama besar pada zamannya. Ramai murid Raja Ali Haji yang menjadi tokoh terkemuka sesudahnya, di antaranya Raja Haji Abdullah yang kemudian menjadi Yamtuan Muda Riau IX, tahun 1857-1858, Saiyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.
Dalam ilmu syariat, Raja Ali Haji berpegang teguh dengan Mazhab Syafie, dalam iktikad berpegang akan faham Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, sedang dalam amalan tasauf beliau adalah seorang penganut Tarekat Naqsyabandiyah dan mengamalkan Selawat Dalail al-Khairat yang dibangsakan kepada Saiyid Sulaiman al-Jazuli, yang diamalkan secara beruntun sejak datuk-datuknya terutama Raja Haji as-Syahidu fi Sabilillah yang ketika akan meninggalnya masih tetap memegang kitab selawat tersebut di tangannya, sementara pedang terhunus di tangannya yang satu lagi.Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Nama kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang bertambah masyhur dengan kemunculan Raja Ali Haji dengan pelbagai karangannya yang bercorak sejarah yang banyak dibicarakan oleh ahli bahasa dan sastera di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan menjadi perhatian yang serius oleh orientalis Barat”.
Riau dikatakan sebagai pusat kebudayaan Melayu dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang tiada tolok bandingnya di kala itu. Raja Ali Haji sebagai tokoh sejarah, ahli bahasa/sastera Melayu dan yang terkenal dengan “Gurindam Dua Belasnya” banyak dibicarakan orang. Akan tetapi belum begitu popular bahwa beliau adalah seorang ulama besar Islam (dunia Melayu). Tentang penulisan Ilmu Fiqh, Tauhid dan Tasauf Raja Ali Haji bukanlah seorang penulis yang produktif seperti gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Walau bagaimanapun diakui ada karya Raja Ali Haji ke arah itu di antaranya Jauharatul Maknunah. Syair Sultan Abdul Muluk pernah diterbitkan oleh Roorda van Eysinga dalam Tijdshrift voor Nederlandsch-India, IX, 4, 1847M, dan diterbitkan di Batavia 1958 M. Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Tentang karya-karya Raja Ali Haji yang tersebut di atas, penjelasan satu persatu adalah sebagai yang berikut, Gurindam Dua Belas banyak dibicarakan dalam pelajaran sastera. Drs. Zuber Usman dalam bukunya, Kesusasteraan Lama Indonesia, beliau menyalin beberapa untaian gurindam itu. Di antara gurindam fasal kesebelasnya.
Dinamakan Gurindam Dua Belas ialah kerana terdiri dari dua belas fasal. Yang terkandung dalam Gurindam Dua Belas ialah perkara yang menyangkut ibadat individu, kewajipan-kewajipan para raja dan sifat-sifat masyarakat, kewajipan orang tua kepada anak dan sebaliknya kewajipan anak kepada orang tua, dan lain-lain.
Sutan Takdir Ali Syahbana memuat Gurindam Dua Belas dalam bukunya Puisi Lama, tahun 1969 diterbitkan lagi dengan suatu pembicaraan Drs.Shaleh Saidi tentang gurindam itu. Penerbitannya diusahakan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan, Singaraja. Gurindam Dua Belas pernah dikumpulkan oleh Elisa Netscher dan diajarkan dalam Tijdshrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde No. 2, tahun 1853 dengan judul De Twaalf Spreukgedichten.
Bustanul Katibin, ditulis tahun 1267H/1850M, diterbitkan dengan huruf batu (litografi) di Pulau Penyengat Riau. Kandungannya membicarakan penulisan bahasa Melayu, tatabahasa Melayu yang disesuaikan dengan tatabahasa (nahu dan sharaf) dalam bahasa Arab. Bustanul Katibin terdiri dari 31 pasal, tebalnya hanya 70 halaman.
Kitab Pengetahuan Bahasa, ditulis tahun 1275 H/1858M, menggunakan nama pengarang pada halaman depan cetakan Al-‘Alim Al-Fadhil Al-Marhum Raja Ali Haji ibni Al-Marhum Raja Haji Ahmad ibni Al-Marhum Yang Di Pertuan Muda Raja Haji Asy-Syahid fi Sabilillah Ta’ala … , terbitan pertama, penggal yang pertama Matba’ah Al-Ahmadiah, 82, Jalan Sultan, Singapura, 10 Rejab 1348 H/11 Disember 1929.
Terbitan kedua telah penulis atau Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, usahakan tahun 1417 H/1996 dengan lampiran Sejarah Ringkas Matba’ah Al-Ahmadiah Singapura dan Raja Haji Umar bin Raja Hasan (Cucu Raja Ali Haji)]. Kitab tersebut adalah kamus bahasa Melayu yang lebih menekankan loghat Melayu Johor, Pahang dan Riau-Lingga. Cetakan pertama setebal 466 halaman, cetakan kedua 483 halaman dengan pendahuluan setebal 32 halaman. Kitab ini tidak sempat selesai, hanya sampai pada huruf (Ca) saja.
Tsamratul Muhimmah, judul lengkap Tsamratul Muhimmah Dhiyafatu lil Umara’ wal Kubara’ li Ahlil Mahkamah. Diselesaikan pada hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M. Tempat diterbitkan ada dinyatakan pada halaman depan Office Cap Gubernement Lingga, 1304 H. Di halaman belakang dinyatakan ‘Tercap di Lingga An Street Printing Office, Muharam 1304H/1886M. Diterbitkan lagi oleh Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1420H/1999M (cetakan yang kedua), nombor siri 28 dengan ukuran 20.4 x 13.5 cm, setebal 79 halaman. Kitab tersebut adalah pedoman untuk raja-raja, hakim, menteri serta pembesar-pembesar lain dalam sesuatu kerajaan atau pemerintahan.
Silsilah Melayu dan Bugis (No. 6), ditulis pada 15 Rabiulakhir 1282H/1865M. Naskhah asalnya adalah dari Saiyid Syarif Abdur Rahman bin Saiyid Qasim, Sultan Pontianak, bin Syarif Abdur Rahman al-Qadri, bahwa naskhah itu telah ditulis oleh Haji Abdullah anak Khairuddin peranakan Juanah pada tahun 1282H atau 1865M. Diterbitkan buat pertama kalinya (Matba’ah Al-Imam), Singapura, tahun 1329H/1911 M, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggeris tahun 1926 dan dimuat dalam JMBRAS. Pada 1956 diterbitkan di Johor atas perintah Mayor Jenderal Sir Sultan Ibrahim, Sultan Johor ketika itu, dicetak di Pejabat Cetak Kerajaan Johor oleh Markum bin Haji Muhammad Said.
Kitab Silsilah Melayu dan Bugis yang ditulis dengan huruf Melayu/Jawi atau huruf Arab dalam bahasa Melayu/Indonesia itu pernah dilatinkan oleh sasterawan Malaysia, Arena Wati tahun 1972, diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala Lumpur (Malaysia) pada tahun 1973.
Kandungan Silsilah Melayu dan Bugis ialah menceritakan asal usul keturunan Bugis di Luwu’ Sulawesi, kemudian kejayaan di dalam pengembaraannya di bahagian Barat Nusantara setelah menghadapi pelbagai tentangan dan peperangan yang sangat hebat dan secara berentetan. Mereka dapat berkuasa di Riau, Selangor, Mempawah, dan tempat-tempat lainnya. Silsilah Melayu dan Bugis adalah sangat penting untuk menyusun sejarah Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Malaysia.
Menyusul kitab Tuhfatun Nafis ditulis pada 3 Syaaban 1282H/1865M. Kitab Tuhfatun Nafis dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Silsilah Melayu dan Bugis. Kitab Tuhfatun Nafis adalah yang paling terkenal daripada semua karangan Raja Ali Haji. Kandungannya dimulakan dengan menjelaskan sejarah Singapura, Melaka dan Johor yang kemudian dilanjutkan tentang Riau dikalahkan oleh Belanda. Kitab tersebut menguraikan kejadian-kejadian bersejarah mulai tahun 1677 hingga tahun 1865.
Dipaparkan dengan hebat kisah datuknya Raja Haji putera Upu Daeng Celak sehingga beliau mangkat menemui syahidnya di Teluk Ketapan, Melaka. Kitab Tuhfatun Nafis pernah diterbitkan oleh R. O. Winstedt dalam tahun 1932, dimuat dalam JMBRAS, dalam tahun 1965 oleh Malaysia Publication di Singapura dengan edisi tulisan Rumi/Latin, dan Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam merupakan transliterasi oleh Virginia Matheson Hooker diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1991.
Bagaimanapun, ada sarjana yang berpendapat kitab Tuhfatun Nafis bukan karangan Raja Ali Haji tetapi karangan ayahnya Raja Haji Ahmad yang terkenal itu. Muqaddimah fi Intizham, judul lengkapnya ialah Muqaddimah fi Intizhamil Wazhaifil Muluki Khushusan ila Maulana wa Shahibina wa Akhina Yang Di Pertuan Muda Raja Ali al-Mudabbir lil Biladir Riyauwiyah wa Sairi Dairatihi, menurut Hasan Junus, ialah sebuah risalah tipis berisikan tiga buah wazifah untuk dijadikan pegangan oleh seorang pemegang kendali dan kemudi negeri ketika mengangkat rencana hukum sebelum menjatuhkan hukuman. Seterusnya Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai. Mengenai judulnya, Abu Hassan Sham menyebut, “Nama syair ini tidak pernah tercatat sebelum ini, tetapi ini bukan bermakna syair ini tidak disedari oleh sarjana-sarjana Barat. Mereka mengetahui syair ini dengan nama yang lain yaitu Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah”. Syair Sinar Gemala Mustika Alam, syair ini pernah diterbitkan oleh Matba’ah ar-Riyauwiyah Pulau Penyengat, tahun 1311H/1893M].
Jauharatul Maknunah, dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah ditulis dalam bentuk syair. Kandungannya mengenai pelajaran fiqh, atau pelajaran agama Islam, yang digubah dalam bentuk puisi. Jauharatul Maknunah diterbitkan oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, pada 7 Muharam 1342H. Jauharatul Maknunah ditashih oleh Raja Haji Abdullah bin Raja Haji Hasan Riau, diterbitkan atas usaha Raja Haji Ali bin Raja Haji Muhammad Riau, Mudir Matba’ah Al-Ahmadiah yang ada hubungan keturunan kekeluargaan dekat dengan pengarangnya, Raja Ali Haji.
KETURUNAN
Putera/puteri Raja Ali Haji ada 17 orang yaitu: Raja Haji Hasan, Raja Mala’,
Raja Abdur Rahman, Raja Abdul Majid, Raja Salamah, Raja Kaltsum, Raja Ibrahim
Kerumung, Raja Hamidah, Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, Raja Khadijah, Raja
Mai, Raja Cik, Raja Muhammad Daeng Menambon, Raja Aminah, Raja Haji Salman
Engku Bih, Raja Siah dan Raja Engku Amdah.
Raja Haji Hasan (No. 1) memperoleh 12 orang anak yang terkenal sebagai ulama dan tokoh ialah; Raja Haji Abdullah Hakim, Raja Khalid Hitam, meninggal dunia di Jepang, Raja Haji Abdul Muthallib, Raja Mariyah, Raja Manshur, Raja Qamariyah, Raja Haji Umar, Raja Haji Andi, Raja Abdur Rasyid, Raja Kaltsum, Raja Rahah dan Raja Amimah.
Senarai karangan Raja Ali Haji yang telah diketahui adalah seperti berikut :
· Syair Sultan ‘Abdul Muluk, hari Rabu, 8 Rejab 1262H/1846M
· Gurindam Dua Belas, tahun 1846M
· (Bustanul Katibin lis Shibyanil Muta’allim), tahun 1267 H/1850M
· Kitab Pengetahuan Bahasa, tahun 1275 H/1858M
· (Tsamaratul Muhimmah), diselesaikan hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M
· Silsilah Melayu dan Bugis, 15 Rabiulakhir 1282H/1865M
· (Tuhfatun Nafis), 3 Syaaban 1282 H/1865M
· (Muqaddimah fi Intizham)
· Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai
· Syair Sinar Gemala Mustika Alam
· (Jauharatul Maknunah), dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah
ENGKU PUTRI RAJA HAMIDAH DAN PULAU PENYENGAT
Siapa menyangka jika Pulau
Penyengat ternyata merupakan mas kawin yang diberikan Sultan Mahmud Marhum
Besar alias Marhum Mesjid sang penguasa Kerajaan Johor kepada Engku Puteri Raja
Hamidah alias Engku Puteri. Dalam rentetan sejarah, belum ada satupun
permaisuri raja yang mendapat mas kawin sebesar mas kawin yang diperoleh Engku
Puteri. Kiranya, Engku Puteri boleh berbangga karena hingga kini tak satupun
wanita di dunia yang mengalahkan ”prestasinya” itu. Kisah ini boleh jadi
diragukan, mengingat tak satupun catatan sejarah menorehkan kebenarannya.
Namun, meskipun tidak tercatat dalam kitab sejarah, ternyata kisah ini sangat
melekat kuat di kalangan masyarakat Melayu yang diceritakan secara turun
temurun sebagai cerita pusaka.
Menurut Tuhfat al-Nafis,
Pulau Penyengat pada awalnya merupakan pulau yang berfungsi sebagai kubu atau
benteng yang dipakai Raja Ali Haji atau dikenal dengan Raja Haji Fisabilillah
dalam Perang Riau melawan VOC/Belanda. Benteng Pulau Penyengat ini
dipertahankan oleh orang-orang Siantan yang terkenal sangat tinggi semangatnya
dalam pertempuran. Baru kemudian pada abad ke-19 pulau ini menjadi tempat
tinggal setelah kepemilikannya diserahkan kepada Engku Puteri dan kemudian
menjadi tempat kedudukan resmi atau pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda.
Siapa sebenarnya Engku
Puteri Raja Hamidah sehingga kepadanya diberikan mas kawin yang tiada
tandingannya hingga sekarang? Ia adalah perempuan Riau yang sangat istimewa dalam
sejarah Melayu. Ia bukan sekedar perempuan di balik kekuasaan Sultan Mahmud
Marhum Besar, melainkan juga pemilik Pulau Penyengat Indera Sakti yang menjadi
pusat pemerintahan dari Kerajaan Riau-Lingga dan daerah taklukannya
(Riau-Lingga-Johor-Pahang). Bahkan, Engku Puteri juga memegang kendali
pemerintahan sekaligus pemegang regalia atau alat-alat kebesaran
kerajaan Riau-Lingga.
Sosok Engku Puteri dalam
buku ini digambarkan sangat bersahaja. Kebersahajaannya merupakan hal yang
sangat istimewa karena selain sebagai isteri raja, ia juga salah satu puteri
Raja Ali Haji dari isterinya yang bernama Raja Perak binti Yang Dipertuan Muda
Riau III Daeng Kamboja. Engku Puteri sendiri merupakan isteri keempat yang
dipersunting Raja Mahmud Marhum Besar tahun 1803 M.
Engku Puteri merupakan wanita paling disegani dan
sangat dihormati pada masa akhir kerajaan Riau-Lingga dan daerah taklukannya.
Hancurnya kerajaan Riau-Lingga secara kronologis berawal dari wafatnya Sultan
Mahmud pada 12 Januari 1812 M, dan dinobatkannya salah satu putera Sultan
Mahmud oleh Raja Jaafar (saudara seayah Engku Puteri) tanpa meminta persetujuan
Engku Puteri sebagai pemegang regalia kerajaan. Tanpa persetujuannya, regalia
kerajaan tidak akan diserahkan kepada raja baru. Selain itu, ditangannyalah
sebenarnya tonggak kerajaan dipertaruhkan. Perseteruan dua anak tirinya dalam
memperebutkan jabatan kekuasaan sepeninggal suaminya dan sikap kerasnya dalam
mempertahankan regalia turut memperkeruh suasana.
Menurut sumber dari beberapa
naskah Melayu kuno dan teks-teks asing dalam buku ini, diceritakan bahwa regalia
kerajaan atau alat-alat kebesaran dalam adat istiadat Melayu dianggap sakral
atau keramat karena melambangkan kebesaran dan kekuasaan, penuh dengan kekuatan
magis yang dapat mempengaruhi keadaan kosmos, menolak pelbagai bahaya seperti
wabah, bencana alam, ataupun gejolak masyarakat.
Pada umumnya, regalia
di kerajaan-kerajaan Nusantara berupa payung, tepak sirih, peralatan dari emas,
perak, persenjataan dan sebagainya. Semua benda-benda itu sangat penting
terutama digunakan pada saat upacara pelantikan seorang raja. Penabalan atau
penobatan seorang raja dianggap tidak memenuhi syarat apabila tidak disertai
oleh kebesaran itu. Tak heran, karena nilai legitimasi yang terkandung di
dalamnya, benda-benda tersebut sering diperebutkan.
Sumber teks Belanda
menyebutkan bahwa Engku Puteri enggan menyerahkan regalia kerajaan
kepada Sultan Abdurrahman (putra tiri bungsu) karena ia lebih memihak Sultan
Husin (putra tiri sulung). Namun, sejarah berkata lain. Perseteruan dua saudara
kandung ini menjadikan Sultan Abdurrahman meminta bantuan pemerintah
Hindia-Belanda dengan mengatasnamakan Gubernur Jenderal agar regalia
kerajaan itu diserahkan kepadanya. Sebaliknya, Sultan Husin yang ternyata juga
berambisi menjadi raja meminta bantuan pihak Inggris untuk memperebutkan regalia
itu. Konon kabarnya, ia bahkan berusaha mengkompensasikan regalia
kerajaan itu dengan uang sebesar 50.000 ringgit Spanyol.
Engku Puteri menghadapi buah
simalakama. Kedua anak tirinya saling berseteru memperebutkan tahta dengan
menggadaikan marwah kerajaan. Sultan Husin yang menjadi kaki tangan pihak
Inggris berusaha menerapkan money politic, sedangkan Sultan Abdurrahman
menerapkan paksaan dengan menempatkan pasukan Belanda untuk mengepung istana
Engku Puteri.
Menurut pakar adat Melayu,
peristiwa money politic maupun pengambilan paksa regalia kerajaan
merupakan penghinaan besar terhadap marwah kerajaan. Regalia kerajaan
yang terbuat dari emas tersebut memuat nilai-nilai kebesaran. Jika hendak
dibeli atau diambil paksa, maka lenyaplah nilai-nilai kebesaran itu. Dalam buku
ini diungkapkan bahwa regalia yang terbuat dari emas itupun hanya akan
tinggal logamnya saja, tidak lagi mengemban semangat kebesaran bangsa Melayu.
Sumber-sumber terpercaya
dalam buku ini mengungkapkan bahwa regalia kerajaan menjadi penentu sah
tidaknya penobatan seorang sultan. Penyerahan regalia kerajaan tanpa
”berkat” dari sang pemegangnya menjadi tidak bermakna apa-apa. Pada tanggal 13
Oktober 1822, regalia kerajaan itu memang sudah berpindah tangan, namun
tanpa restu dari sang empunya, Engku Puteri.
Singkat cerita, penobatan
Sultan Abdurrahman menjadi raja di Kerajaan Riau-Lingga tidak disaksikan oleh
Engku Puteri, namun justru disaksikan oleh wakil pihak Belanda. Bahkan alunan
gendang nobat dalam adat istiadat Melayu yang semestinya dialunkan
dengan penuh khidmat dan takzim juga tercemari oleh kolaborasi lagu-lagu Eropa
yang dimainkan oleh korp musik militer Belanda. Baru kali itu kesakralan
penobatan raja menjadi sebuah upacara yang ”tidak biasa”. Ketidakhadiran Engku
Puteri dan tiadanya restu terhadap penyerahan regalia kerajaan menjadi
pertanda buruk peristiwa yang kelak terjadi. Setahun kemudian, kerajaan
Riau-Lingga benar-benar mengalami kehancuran.
TUANKU TAMBUSAI
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih
dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat,
guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim
yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang
bercorak khurafat secara bijaksana. Bayi
tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli
Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi
suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia
kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah
penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan.” (Rokan Tuanku Tambusai
Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti
Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri.
Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar ke Rao yang
lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao
dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah
maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah
diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah
menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara
(pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh
Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama
yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang
dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama.
Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif).
Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat).
Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di
Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang
sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau,
Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi
an-Naqsyabandi dan lain-lain. Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin
Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat
belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan
ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada
pendapat bahwa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan
Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih). Setelah kembali dari Mekah,
Faqih Shalih lebih dikenali “Haji Muhammad Shalih”. Selanjutnya dalam Perang
Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai “Tuanku Tambusai”
selanjutnya digunakan nama ini.
Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahwa sama ada disukai atau
pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama
yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya
menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu
Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu
negara atau sesuatu bangsa bahwa hampir setiap individu dalam sesuatu negara
adalah tidak suka negaranya dijajah. Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa
telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan
agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab
Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat
bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak
seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah
yang dinamakan “Kaum Paderi” yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian
terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. “Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan
Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu
membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom.” (Menurut
buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia hlm. 517).
Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama
sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan
dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di
bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui
Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda
telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada
Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku
Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik yaitu Minangkabau/Rao, Melayu
dan Mandailing. Bahwa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik
bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam.
Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan
bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid.
Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak
mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang
sebenar-benar rugi pada hakikatnya.
Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah
yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah yaitu; daerah
Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan
majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti
penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri yaitu
Mandailing.
Dari rakaman sejarah di atas dapat dilihat secara jelas bahwa Tuanku
Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau
dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak
mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan
pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam
daerah Riau Daratan).
Sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda
tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah
seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan
pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahwa berunding dengan pihak
penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat
yang disediakan pemburu. Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama
Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan
tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai
berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan
beliau memilih jalan terakhir yaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada
berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang
tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai
itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan
penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak
Belanda sendiri. Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya
dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita
bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang
tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklIr. Ada
negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika
seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. semua itu hanyalah
merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan
sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar,
kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa
beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam
perang Patani melawan pencerobohan Siam bahwa beliau hijrah ke Pulau Duyung
Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi
bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai
Allah di dunia dan akhirat. Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai
beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’
dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Agustus1995.
MELACAK PEREMPUAN PEJUANG RIAU
Disadari bahwa tidak banyak—untuk tidak dikatakan tidak ada— dari para
tokoh perempuan yang muncul dalam lembar sejarah dunia Islam. Pertanyaan ini
penting untuk diketengahkan karena posisi perempuan ikut terlibat aktif dalam
kehidupan masyarakat dan berperan dalam berbagai bidang—tidak hanya domestic domain, akan tetapi juga public domain— kian tenggelam. Menjadi
menarik untuk diteliti, mengapa tokoh-tokoh perempuan dalam perjalanan sejarah
Islam tertinggal beberapa langkah dibanding dengan tokoh laki-laki?, bahkan dalam
beberapa kasus atau kurun waktu tertentu tokoh perempuan semakin jauh
tertinggal, untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan
karena sejarah ulama perempuan dan perjuangan perempuan adalah sejarah yang
gelap. Tidak banyak yang dapat diketahui dari subyek ini, sehingga informasi
yang dapat digali dalam masalah ini pun terbatas. Meski demikian, bukan berarti
sejarah perempuan, khususnya yang terkait dengan tokoh-tokohnya, tidak tercover
sama sekali dalam data sejarah.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan dunia Melayu Riau, meskipun kaum
perempuan Melayu telah memainkan peranan yang sangat strategis, namun
eksistensinya tidak muncul kepermukaan secara signifikan. Demikian pula dalam
lintas sejarah nusantara dikenal sejumlah nama perempuan, seperti Cut Nya’
Dien, Cut Meutia, Martha Tiahohu, RA Kartini, dan lainnya, namun sosok
perempuan Melayu jarang –untuk tidak dikatakan tidak ada—muncul kepermukaan.
Sepertinya, perempuan Melayu tidak dinamis dan hanya berkutat pada wilayah
domestic. Padahal, dalam lintas sejarah kreativitas perempuan Melayu telah
banyak memberikan kontribusi, baik dalam ruang lingkup daerah, nusantara,
bahkan internasional.
Ketidakmunculan sosok perempuan Melayu dalam pentas sejarah nusantara,
paling tidak dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain : Pertama, factor publikasi yang terbatas. Faktor
ini cukup memberikan informasi terhadap eksistensi perempuan Melayu. Kedua, factor politik yang “kurang memihak”. Ketiga,
kelangkaan upaya penelitian yang mengapungkan kontribusi perempuan pejuang Melayu. Akibatnya, informasi tentang
perempuan pejuang Melayu menjadi sulit ditemukan. Keempat, kurangnya upaya untuk memunculkan
pembuktian terhadap peran perempuan pejuang Melayu agar diakui oleh masyarakat,
baik daerah, nusantara, bahkan internasional.
Sosok dan Perjuangan Perempuan Melayu ;
Pembuktian Sejarah
Dalam
lintas sejarah Bumi Lancang Kuning, negeri ini telah banyak melahirkan kaum
perempuan yang berkualitas dan telah banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan
peradaban. Namun demikian, peran perempuan Melayu perlu dilhat dari
periodesasinya. Paling tidak, ada dua periodesasi gerakan perempuan Melayu
sepanjang sejarah, yaitu : Pertama, periode sebelum tahun 1945, perempuan Melayu lebih banyak
berorientasi pada tugas domestic sebagai istri dan ibu. Pemahaman ini berangkat
dari pemahaman masyarakat Melayu yang kuat dengan agama Islam. Mereka masih
terpaku pada mainstream tradisi
masyarakat Arab dan berupaya mengimplementasikan hadis Rasulullah : “Perempuan
adalah tiang Negara, bila ia baik, maka Negara akan baik. Namun bila ia tidak
baik, maka hancurlah Negara”. Sosok perempuan Melayu periode ini dapat dilihat
dari sosok Cik Puan (pada masa pemerintahan Sultan Siak Assyaidis Syarif Ali
Abdul Jalil Syaifuddin), Dang Merdu (sosok ibu yang telah berhasil mendidik
Hang Tuang menjadi seorang laksamana yang terkenal), atau yang sedikit keluar
dari mainstream zamannya adalah Tengku Agong Syarifah Latifah (permaisuri
Sultan Syarif Kasim II) yang berupaya mengangkat kaumnya dibidang pendidikan
dengan mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School (1926). Sekolah
ini menggabungkan kurikulum Belanda dengan keterampilan kaum perempuan (memasak
dan menjahit). Ia juga mendirikan Madrasatul Nisa’ yang ditujukan untuk
membekali kaum perempuan dengan pengatahuan agama Islam. Namun, sayangnya data
dan kontinuitas kedua lembaga pendidikan ini tidak bisa terlihat lagi.
Kedua, periode setelah tahun 1945, kaum perempuan Melayu
menunjukan semangat yang dinamis untuk mengngkat martabat kaumnya. Mereka telah
memainkan perannya di luar wilayah domestic, baik sebagai guru, da’i, penulis
dan wartawan, organisasi keagamaan, dan politik. Mereka antara lain adalah :
(1). Tengku Maharatu (istri ke-2 Sultan Syarif Kasim II). Ia melanjutkan usaha
dan perjuangan Tengku Agong. Di samping itu, ia juga mengajarkan cara bertenun
yang kemudian dikenal dengan nama Tenun Siak. Masajo (1921-2008), seorang
perempuan yang memiliki keterampilan menenun dengan berbagai motif yang
memiliki kualitas tinggi. Namun sayang, hasil kreativitasnya tak pernah
dipatenkan, sehingga tidak bisa diangkat menjadi bukti citra dan kemajuan
keterampilan yang dimiliki perempuan Melayu yang berkualitas dunia. (2). Raja
Khadijah binti Raja H. Usman. Ia adalah tokoh perempuan Melayu dari Kepulauan
Riau. Ia berupaya mengangkat harkat kaumnya melalui organisasi keagamaan
Aisyiah dan organisasi wanita Fujinkai. Pada masa Agresi Belanda II, ia aktif
dalam BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat
Indonesia Riau). Pada tahun 1951, ia ikut berpolitik melalui Masyumi. Bahkan,
pada tahun 1985 ia pernah menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili
PPP. (3). Syahawa HB. Ia adalah sosok perempuan Melayu yang mengajarkan kaumnya
cara menenun. Di samping itu, sebagai istri seorang TNI, ia bersama-sama istri
TNI berusaha menjelaskan kepada rakyat arti kemerdekaan dan mengirimkan
kebutuhan TNI ke garis depan pertempuran. Sosok lain adalah Encik Hasnah. Ia
mencoba mempertahankan tradisi Melayu agar tidak ditelan bumi. Tradisi budaya
Melayu tersebut adalah menekat, menenun dan merias. Upayanya ini terus
dilestarikan sampai saat ini, di tengah majunya arus globalisasi dan kehidupan
modern. (4). Khadijah Ali (1925-186) berupaya mengangkat harkat martabat
perempuan melalui jalur pendidikan. Dengan berbekal ilmu yang diperoleh di
Diniyah Putri Padangpanjang, ia kemudian mendirikan sekolah Diniyah Putri di
Pekanbaru. Hasil usahanya ini masih eksis sampai saat ini. Di samping itu, ia
juga merupakan sosok perempuan Melayu yang dinamis. Ia pernah aktif di Aisyiah,
anggota BP4 Riau, anggota BKOW Riau, pendiri RS Islam Riau, anggota DPRGR,
anggota DPRD Kampar, anggota DPRD Pekanbaru, dan sejumlah aktivitas lainnya.
(5). Fatimah binti Suhil. Meskipun ia lair di Bagan Siapi-api, namun setelah
berhasil menamatkan pendidikan pada Kulliyatul Mu’allimat Islamiyah
Padangpanjang, ia memilih Siak sebagai tempat perjuangannya. Di sini, ia aktif
diredaksi Riau KOHO (Surat Kabar
Jepang) dan menjadi anggota palang merah yang ikut membantu para pejuang RI.
(6). Azizah Ali (1945-sekarang), Halimah Hadi (1927-2007), Maimanah Umar
(1937-sekarang), Misbah Jalila, Radjiah rahim (1924-2006), Rahmah Hamid
(1928-sekarang), Roslani (1938-sekarang), Rosnaniar (1942-sekarang), Sarfinah
Natsir (1929-2002), Tengku Badi’ah (1928-sekarang). Mereka adalah perempauan
Melayu yang aktif dalam masa peperangan dan politik pasca kemerdekaan. (7). Wak
Setah, seorang perempuan Melayu yang memiliki kemampuan bertutur (bercerita)
yang sangat brilyan. Sayangnya, penuturan cerita yang pernah disampaikan tak
pernah dibukukan, sehingga sulit ditemukan lagi. Padahal, mayarakat Melayu
modern telah banyak yang tidak lagi mengetahui cerita daerahnya akibat arus
novel modern yang tidak mencerminkan nilai Melayu yang Islami. (8). Rahmah Hamid
(1928-sekarang), seorang sosok perempuan Melayu yang memiliki kemampuan
berdakwah dan kualitas ilmu agama yang dapat dipersandingkan dengan kaum
laki-laki. Bahkan, ia dipercaya sebagai ketua MUI Kabupaten Indra Giri Hilir
sejak 2003 sampai sekarang. Fenomena ini sangat langka, karena pada umumnya
psosisi ketua MUI diduduki oleh kaum laki-laki. Keunikan ini dapat terlihat
pada kualitas perempuan Melayu.
Eksistensi Perempuan Pejuang Melayu
Dari paparan bukti historis di atas, terlihat dinamika dan kualitas
perempuan pejuang Melayu sepanjang sejarah Bumi Lancang Kuning. Namun,
eksistensinya menjadi “kelam” karena kurang diapungkan kepermukaan. Padahal,
sumbangan yang telah diberikan oleh perempuan pejuang Melayu –baik langsung
maupun tidak langsung-- telah dapat
dirasakan secara luas. Ada beberapa indikasi untuk membuktikan peran perempuan
Melayu di nusantara, yaitu : Pertama, mereka aktif secara
langsung membantu upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Namun,
sayangnya eksistensi mereka terlupakan di bidang ini. Kedua, mereka aktif dalam upaya mencerdaskan
bangsa dan khususnya kaum perempuan Melayu. Upaya yang mereka lakukan antara
lain dengan mendirikan lembaga pendidikan yang khusus untuk kaum perempuan.
Materi pelajaran yang dikemas mencerminkan kecerdasan kaum perempuan Melayu.
Mereka menggabungkan kurikulum Belanda, ajaran Islam, dan keterampilan yang
dibutuhkan kaum perempuan secara integral. Sebuah upaya cerdas yang pada
zamannya –bahkan hari ini-- sulit untuk
ditemukan. Ketiga, mereka aktif
dibeberapa organisasi keagamaan dan politik, serta dunia jurnalistik. Di sini
terlihat bagaimana merdekanya kaum perempuan Melayu “mensejajarkan” posisinya
dengan kaum laki-laki. Untuk itu, ketika kesetaraan gender dimunculkan saat
ini, sesungguhnya kaum perempuan Melayu sudah lebih dahulu maju digarda
terdepan. Keempat, kaum
perempuan Melayu berupaya mempertahankan budaya nenek moyang –dengan ruh
Islam-- dan bahkan mengembangkan budaya
tersebut. Kreativitas perempuan Melayu telah memunculkan bentuk karya yang
memiliki nilai tinggi. Bahkan, apa yang telah mereka hasilkan tidak diperoleh
diwilayah lainnya.
Apa yang telah dilakukan perempuan Melayu, sesungguhnya dapat
disetarakan –bahkan-- lebih tinggi dari
apa yang telah dilakukan oleh kaum perempuan lainnya di nusantara. Katakanlah
apa yang dilakukan RA Kartini atau Rahmah el-Yunusiah di bidang pendidikan kaum
perempuan. Padahal dunia Melayu memiliki sosok Tengku Agong Syarifah Latifah.
Atau Rasuna Said dibidang jurnalistik, bumi Lancang Kuning memiliki sosok
Fatimah binti Suhil. Apatahlagi sosok pejuang seperti Cut Nya’ Dien, Cut Meutia
atau beberapa pejuang perempuan di nusantara. Apa yang telah dilakukan oleh
perempuan Melayu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sesungguhnya
dapat disejajarkan dengan apa yang telah dilakukan kaum perempuan yang telah
dikenal di nusantara sebagai sosok pahlawan nasional. Pertanyaannya adalah,
kenapa mereka bisa dikenal secara luas, sementara apa yang dilakukan perempaun
Melayu tidak dikenal, bahkan untuk lingkup daerah ?.
Ada beberapa factor kenapa kaum perempuan pejuang Melayu kurang
terekspos, padahal mereka telah banyak memberikan pengaruh pada zamannya.
Faktor kelemahan ini sekaligus dapat digunakan sebagai upaya kedepan agar
perempaun pejuang Melayu dapat disejajarkan dengan pejuang perempaun lainnya di
nusantara, bahkan dunia. Faktor tersebut antara lain adalah : Pertama, kekuatan politik untuk memperjuangkan
tokoh perempuan pejuang Melayu secara nasional, baik sumbangannya sebagai
pahlawan, pemikir, maupun budayawan dengan hasil seni yang berkualitas sangat
tinggi. Kedua, publikasi
sosok “pejuang” perempuan Melayu melalui media cetak, sehingga eksistensi
mereka dikenal secara luas. Untuk itu, upaya mempublikasikan sosok pejuang
perempuan Melayu perlu dilakukan secara nasional, bukan sebatas publikasi
local. Ketiga, menjadikan sosok tokoh pejuang perempuan
Melayu sebagai nama gedung, hotel, sekolah, atau jalan. Dengan upaya ini,
paling tidak masyarakat akan lebih mengenal sosok mereka. Keempat, sosialisasi ketokohan dan pemikiran
pejuang perempuan Melayu, baik melalui kajian ilmiah maupun melalui kurikulum
local mata pelajaran Budaya dan Adat Melayu pada lembaga pendidikan di Bumi
Lancang Kuning. Kelima, pemerintah
daerah dan dunia akademik di Riau perlu memikirkan upaya memberikan anugerah
kepada mereka dan melestarikan apa yang telah mereka lakukan.
Upaya di atas perlu dilakukan secara cepat dan cermat oleh seluruh
komponen yang ada di Bumi Lancang Kuning bila ingin membuktikan bahwa
perempuang Melayu dan sejarah Melayu telah banyak memberikan kontribusi bagi
perjuangan di nusantara. Bila hal ini tidak dilakukan, berarti kita adalah
“bangsa kecil nan kerdil” yang telah menghilangkan kontribusi perempuan pejuang
Melayu dan kontribusi Melayu Riau yang demikian tinggi di negeri ini.
DEMOKRASI DALAM TRADISI POLITIK ISLAM
MELAYU
“Islam” dan “Melayu”. Dua kata ini
menjadi semacam kata kunci untuk mengawali diskusi kita tentang budaya
demokrasi dalam tradisi politik Islam Melayu. Yang ingin coba dilihat melalui
tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam dunia Melayu jika diletakkan
dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem
pemerintahan yang baik (good governance).
Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Melayu”
tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada
sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai
way of life. Sementara yang kedua, Melayu, berarti sebuah komunitas di wilayah
tertentu, di mana Indonesia
berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Melayu adalah
mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.
Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu
menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi
sangat identik dengan Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam
satu slogan: “masuk Islam berarti menjadi Melayu”, atau dengan ungkapan lain:
“menjadi Melayu berarti menjadi Muslim”. Slogan ini demikian mengakar di
kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam
niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan
dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan
gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja,
hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah
politik.
Dalam hal ini, bangsa Melayu menjadikan
Islam (baca: Islam historis) sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku
politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya
tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, semisal Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-raja Pasai — dua teks yang masing-masing berbicara tentang kerajaan
Samudra Pasai dan Malaka abad 14 dan 15— di mana perumusan Islam sebagai basis
etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka
dalam keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang raja Pasai
misalnya, digambarkan bahwa sesaat setelah beralih ke agama Islam segera
memakai gelar Arab, Sultan, dan, dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan
rakyatnya, ia dinyatakan sebagai “Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (Zillullah fil
Alam). Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam
Melayu ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran,
tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik,
meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan
—di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa
kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran.
Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Islam Melayu,
berkembang paham bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan
bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, paham ini, antara lain, pernah berkembang
dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa
dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (Zillullah fil Ard). Seperti
diisyaratkan di atas, berbagai teks Melayu klasik, semisal Sejarah Melayu,
Hikayat Raja-raja Pasai, Adat Raja-raja Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa,
Hikayat Patani, Taj al-Salatin, Undang-undang Melaka dll. seringkali mendeskripsikan
pengadopsian gelar-gelar serupa, semisal Zillullah fil Ard, Zillullah fil Alam,
“Khalifah Allah di Bumi” dll. oleh para penguasa Islam Melayu.
Dalam tradisi politik Islam Melayu,
seperti tampak dalam teks Sejarah Melayu atau Taj al-Salatin, misalnya, raja
atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Raja dianggap
sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi raja adalah
setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Dalam hal ini,
teks Taj al-Salatin menganalogikan Raja dan Nabi sebagai “ dua permata dalam
satu cincin”. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai
dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Bahkan, dalam beberapa mata uang
Malaka abad 15 misalnya, Sultan yang memerintah dinyatakan sebagai Nashir
al-Dunya wa al-Din (Penolong dunia dan Agama). Oleh karenanya, kekuasaan raja
atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk
taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.
Sifat mutlak kekuasaan raja atau
penguasa dalam tradisi politik Islam Melayu ini kemudian lebih diperkuat lagi
dengan konsep “setia” dan “derhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan
kekuasaan raja, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar
(derhaka) kepada raja akan menerima hukuman. Hukum sendiri, dalam Undang-undang
Melaka misalnya, dikemukakan sebagai sebuah aspek martabat raja: “…siapa saja
yang melanggar apa yang telah dinyatakan dalam undang-undang ini, dinyatakan
bersalah melakukan pengkhianatan terhadap Sri Baginda…”. Pada gilirannya,
posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan raja
yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada asas rule of law, tidak terbuka
terhadap keragaman, dan seterusnya.
Tentu saja, kendati banyak dipengaruhi
unsur Islam, fenomena bentuk pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak
bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala-Islam,
yang komunitasnya terikat dengan hukum-hukum syariat. Kenapa? karena —selain
Islam yang dirujuk pun tidak bersifat menyeluruh— secara historis, dunia
politik Melayu juga memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi masa pra-Islam,
di mana sistem pemerintahan yang berpusat pada raja atau penguasa telah muncul,
paling tidak dalam bentuk embrionya. Oleh karenanya, tidak heran kemudian jika
struktur seremonial negara Islam Melayu, gelar-gelar, dan ritual-ritual yang
memperlihatkan pencapaian duniawi dan spiritual dari elit dan masyarakat
Melayu, seringkali juga memiliki “silsilah” dan keterkaitan dengan tradisi masa
pra Islam.
Dengan penjelasan ini, satu hal dapat
dipastikan, betapa tidak mudah untuk mencari benang merah antara nilai-nilai
dalam sistem demokrasi —yang meniscayakan beberapa parameter tertentu— dengan
tradisi politik Islam Melayu tersebut, meskipun benang merah itu tampaknya
bukan tidak ada sama sekali. Masih dalam hal hubungan antara raja dengan rakyat
misalnya, kendati posisi raja sangat dominan, namun tradisi politik Melayu juga
mengenal pola hubungan raja dengan rakyat yang, dalam beberapa hal, bisa
disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan.
Kendati memang sangat simbolik, teks Sejarah Melayu dalam beberapa bagian
menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi
masing-masing. Dalam kaitan inilah, wacana politik Melayu selanjutnya
memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik
Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
Alhasil, melacak akar-akar demokrasi
dalam tradisi politik Islam Melayu, tak ubahnya bagai mencari sesuatu yang
hitam dalam gelap: ada, tetapi tidak gampang mencarinya! Yang harus menjadi
catatan penting kita adalah, betapa pengalaman telah menunjukkan bahwa
perumusan sistem pemerintahan, apapun bentuknya, ternyata dihasilkan melalui
persentuhan antara budaya yang pernah ada dengan “sesuatu” yang datang
kemudian. Jadi, kendati kita pernah memiliki pengalaman yang rada-rada gelap
dalam hal berdemokrasi, toh sekarang kita sedang banyak bersentuhan, dan dengan
sendirinya bisa “belajar”, dengan nilai-nilai demokrasi itu? Masalahnya, mau
atau tidak!
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Yatim, 1989. Inventarisasi Benda-benda Koleksi Bersejarah Dalam Istana Siak Sri
Indrapura, Mimeo, Pekanbaru.
Ahmad Yusuf, 1992. Sultan Syarif Kasim II Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura,
Pemda Riau, Pekanbaru.
____________, 1993. Dari Kesultanan Melayu Johor – Riau ke Kesultanan Melayu Lingga – Riau,
Pemda Riau, Pekanbaru.
Amir Luthfi, 1983. Unsur Islam Dalam Sistem Kpendidikan Kesultanan Siak Sri Indrapura,
Lembaga Penelitian Masyarakat, Pekanbru.
Anthony Reid, 1987. Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera,
penerbit sinar harapa, Jakarta.
Audrey R. Kahin, 1990. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Grafiti, Jakarta.
D. G. E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, Usaha Nasional, Surabaya.
Kuntowijaya, 1991. Metodologi Sejarah, Jurusan Sejarah UGM, Yogyakarta.
Maleha Aziz, 1984. Latar Belakang Pembangunan Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura,
Pekanbaru.
Marlely Rahim, 1983. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, Depdikbud, Pekanbaru.
Muchtar Luthfi, 1977. Sejarah Riau, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi Budaya
Riau, Pekanbaru.
Netscher, E. 1870. De Nederlanders in Djohore en Siak
(1602-1865), Historiche Bescriving, Batavia:
terj. Wan Ghalib dkk.
Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Jlid V, Balai Pustaka, Jakarta.
Rustam, S. Abrus. 1988. Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan
Belanda (1782-1784), Pemda Riau.
Soenjata Kartadarmadja. 1982. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Riau,
Proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Sartono Kartodirdjo, 1992. Sejarah Pergerakan Nasional II, Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
______________, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta.
Soedjatmoko, 1995. Historiografi Indonesia,
Sebuah Pengantar, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Suwardi MS, 1984 Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Riau,
Dept. P & K, Jakarta.
___________, 1997. Sultan Syarif Kasim II, Sultan Siak Sri Indrapura (1915-1945), Calon
Pahlawan Nasional, Pemda TK II Bengkalis.
Taufik Abdullah, 1990. Sejarah Lokal di Indonesia, GM University Press, Yogyakarta.
Tenas Efendi, 1993. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura, BPKD Riau, Pekanbaru.
Umar Ahmad, 1988. Silsilah Keturunan Raja-Raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan
Pelalawan, Pekanbaru.
[1]
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA adalah Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah &
Keguruan UIN Suska Riau, Dosen PPs UIN
Suska Riau, Dosen STAI Nurul Falah Air Molek, serta pengurus Yayasan
Masyarakat Madani Riau. HP. 08126713901
Tidak ada komentar:
Posting Komentar